‘Deri Gete’, Pengabdian atau Kutukan

Pendahuluan

Pada akhir abad ke-16, Larantuka di pulau Flores dan Dili di pulau Timor menjadi pusat kehidupan Katolik di bawah reksa pastoral para biarawan Dominikan[1].  Misi Katolik awal di Flores dibawa oleh para saudagar dan misionaris Portugis dari ordo Dominikan tahun 1630. Karya pewartaan ini dilanjutkan oleh Misionaris Yesuit dari tahun 1859- 1914, lalu diserahkan ke tangan misionaris Tarekat Societas Verbi Divini (SVD) yang berpusat di Steyl, Belanda pada tahun 1914-1942.

Sebelum menganut agama Katolik, masyarakat Flores telah memiliki kepercayaan asli yaitu kepercayaan pada arwah leluhur. Kehadiran Katolik yang dibawa oleh misionaris Yesuit Portugis dan SVD Belanda mempunyai tujuan yakni pengubahan (conversion) suatu golongan masyarakat dari kepercayaan lama tradisional menuju iman baru.

Misi ini tentu tidak selalu berjalan mulus. Banyak hambatan dan tantangan yang harus dihadapi. Pertikaian sering terjadi karena penduduk asli ingin mempertahankan tradisi adat leluhurnya. Kendati demikian, usaha pewartaan Injil tetap dilakukan dengan cara interaksi yang intensif antara pewarta dan masyarakat.

Proses sosial yang dilakukan misionaris agar dapat menjembatani perbedaan kultur yaitu dengan mendirikan sarana-sarana komunikasi seperti sekolah, rumah sakit dan panti asuhan. Bidang pendidikan memiliki kontribusi yang besar dalam pewartaan Injil. Pendidikan dan penyebaran agama berjalan bersama setelah misionaris menyesuaikan diri dengan kondisi setempat, karena proses pewartaan agama antara lain menyaratkan ketentuan untuk memahami bahasa dan budaya setempat serta berkomunikasi baik.

Sejak Katolik masuk ke Flores, kehidupan masyarakat Flores mengalami perubahan dalam berbagai aspek kehidupan. Misi yang dijalankan oleh imam-imam dominikan Portugis hingga imam-imam SVD berpengaruh pada perubahan tatanan kehidupan bermasyarakat. Hal paling umum dari sejarah perjuangan imam-imam Portugis dalam menyebarkan Katolik yang dapat kita temukan di daerah ini yakni menjadikan Flores sebagai wilayah dengan mayoritas penduduk beragama Katolik terbanyak di Indonesia. Banyak umat Katolik, biara dan seminari-seminari tinggi dibangun di Flores demi menyiapkan calon-calon pastor untuk melanjutkan karya misionaris.

Setelah Katolik menjadi agama kepercayaan masyarakat setempat, ajaran-ajaran moral yang digaungkan oleh Gereja Katolik mulai dihidupi dalam keseharian berdampingan dengan tradisi adat istiadat yang ada. Beberapa ajaran nenek moyang yang menjadi warisan leluhur masih tetap dipertahankan.

Iman dan keyakinan yang diajarkan dalam Katolik melahirkan cara  pandang baru terhadap berbagai persoalan hidup yang beririsan dengan warisan budaya leluhur. Adat dan tradisi dipahami dalam kacamata iman Katolik. Oleh karena itu, gereja dan budaya menjadi dua landasan penting bagi masyarakat dalam menilai dan menyikapi berbagai perubahan sosial yang terjadi.

Metode Penelitian

Riset ini menggunakan metode analisis kepustakaan dan wawancara. Melalui analisis kepustakaan, peneliti menggunakan buku-buku umum dan artikel yang berbicara tentang sejarah Sikka dan perkembangan penyebaran Katolik di Flores. Selain itu, penulis juga menggunakan beberapa tulisan tentang empati. Data-data yang diperoleh dari buku-buku dan artikel tersebut akan diolah dan dianalisis sebagai data dukung tulisan ini.

Metode wawancara dimaksudkan untuk menggali secara lebih mendalam tentang identitas, sikap dan pengalaman hidup perempuan deri gete.  Melalui pengetahuan akan identitas, pengalaman hidup terutama berkaitan dengan kehidupan sebagai perempuan deri gete, penulis boleh menemukan berbagai alasan dan faktor pendukung yang ada dalam masyarakat yang turut melestarikan pilihan hidup ini.

Deri Gete, Pengabdian atau Kutukan?

Kabupaten Sikka dengan Maumere sebagai ibukota kabupaten ini adalah salah satu wilayah yang mendapat pengaruh dari karya misionaris. Penyebaran agama katolik di Maumere membawa dampak signifikan bagi pertumbuhan ekonomi, tata pembangunan kota, serta cara pandang baru bagi masyarakat dalam menjalani model hidup yang ditawarkan dan diajarkan gereja.

Setelah karya misi menyebar dan menjadikan agama Katolik sebagai salah satu agama masyarakat setempat, adat istiadat dan tradisi pun masih dihidupi sebagai pedoman hidup masyarakat. Masyarakat tidak hanya beriman Katolik, tetapi serentak menghidupi adat istiadat dan tradisi budaya.

Menurut sejarah Kerajaan Sikka, harkat dan martabat perempuan sangat diperjuangkan ketika masa kepemimpinan Ratu Dona Maria da Silva dan Ratu Dona Agnes Inez da Silva. Pada 1613-1620, Kerajaan Sikka dikendalikan oleh dua puteri keturunan Raja Don Alessu. Kedua ratu ini dikenal sebagai pelopor dan pelindung kaum perempuan Sikka Krowe pertama dengan menetapkan peraturan belis. Mereka sebagai penggagas pertama hukum adat belis.

Selama masa kepemimpinannya, dua ratu ini menerapkan secara khusus hukum adat penetapan belis yang wajib dijalankan oleh pihak laki-laki terhadap pihak perempuan. Dalam bahasa daerah Sikka “ata dua naha norang ling-weling, ata lai naha leto woter” yang berarti seorang perempuan harus mempunyai nilai dan oleh karena itu para lelaki harus menghargainya dalam adat perkawinan. Sebab, belis atau dalam bahasa daerah Sikka disebut ling weling adalah salah satu bentuk penghargaan untuk mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan saat hendak hidup bersama dengan keluarga laki-laki.[2]

Perempuan yang memilih menikah tentu harus melewati berbagai tahapan pernikahan adat. Belis atau penyerahan mas kawin adalah salah satu proses pernikahan tersebut. Hal ini tentu tidak berlaku bagi kaum perempuan yang memilih untuk tidak menikah.

Dalam budaya Sikka, perempuan-perempuan yang memilih tidak menikah ini dikenal dengan istilah deri gete. Deri gete mengacu pada keputusan seumur hidup seorang perempuan untuk tidak menikah demi menjaga rumah, merawat orang tua, membesarkan keponakan, melayani keluarga besar, dan sebagainya.

Deri Gete tidak hanya dijalani oleh perempuan, tetapi juga laki-laki. Menurut tuturan salah satu tokoh masyarakat dalam sesi wawancara, sebutan bagi laki-laki yang memilih hidup membujang seumur hidup adalah gera gahar. Bila diartikan secara etimologis, istilah deri gete, gera gahar berarti “duduk membesar, berdiri meninggi”.

Sebutan deri gete cukup akrab dan sering digunakan dalam dialog atau cerita keseharian masyarakat setempat. Kadang-kadang sebutan deri gete, gera gahar berlaku untuk laki-laki maupun perempuan tanpa dipisahkan. Menurut beberapa narasumber, deri gete sudah digunakan oleh para leluhur sebelumnya, tetapi belum ada penjelasan detail tentang makna atau alasan dibalik penggunaan sebutan ini.

Deri gete, gera gahar juga dijalani oleh kaum laki-laki meski tak sebanyak kaum perempuan. Alasan pendukung yang coba penulis bayangkan, tentang perbedaan jumlah yang cukup jauh antara kaum perempuan dan laki-laki sebagai deri gete, gera gahar bisa dikaitkan dengan ajaran budaya patriarkat yang melekat di masyarakat Sikka.

Laki-laki, dalam ajaran tradisi dan budaya Sikka, memiliki tempat tertinggi dalam tatanan hidup berkeluarga dan bermasyarakat. Laki-laki sebagai penerus garis keturunan, pewaris keluarga, dan sebagai kepala suku atau kepala keluarga tentu harus berkeluarga. Ia mesti menikahi seorang perempuan, memiliki anak dan meneruskan garis keturunan suku selanjutnya.

Oleh karena itu, usaha untuk mengurangi jumlah laki-laki yang membujang terlihat jelas dalam masyarakat. Usaha ini terwujud dalam berbagai cara. Salah satu cara yang seringkali ditemukan yakni perjodohan. Perjodohan ini dijembatani oleh kerabat perempuan dalam keluarga. Berbeda dengan perempuan yang belum menikah, usaha menjodohkan ini jarang dilakukan dari kerabat si perempuan.

Hal ini wajar dalam kehidupan masyarakat Sikka, karena sistem patriarki yang hanya memperbolehkan kaum laki-laki untuk berperan aktif mencari calon pendamping hidup. Sementara bagi perempuan, ia akan mendapatkan stigma atau stereotip negatif dari masyarakat jika mencari calon suami seperti mengungkapkan perasaannya terlebih dahulu atau menggunakan cara yang umum digunakan oleh laki-laki.

Sebagai sebuah pilihan hidup tentu pilihan membujang oleh perempuan ini didasarkan pada alasan-alasan tertentu. Berdasarkan hasil penelusuran penulis, alasan yang paling sering muncul adalah keluarga. Perempuan deri gete memang mempunyai kebebasan untuk memilih jalan hidup ini. Namun ia perlu mempertimbangkan beberapa alasan seperti menjalankan tugas dan perannya sebagai anak yang berbakti pada kedua orang tua atau menjadi ibu bagi keponakannya. Dedikasi kepada orang tua dan keluarga menjadi pertimbangan krusial.

Alasan yang lazim berkembang dalam masyarakat tentang penyebab pilihan hidup perempuan sebagai deri gete ini yakni belum menemukan jodoh yang tepat. Akan tetapi berdasarkan penelusuran penulis melalui wawancara dengan beberapa perempuan deri gete, penulis menemukan alasan-alasan pendukung yang berbeda dari setiap generasi. Dalam penelitian ini penulis mengelompokan perempuan deri gete berdasarkan tahun lahir dan tingkat pendidikan.

Bagi perempuan deri gete tahun 1950 dan 1960, dengan tingkat pendidikan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, alasan utamanyaa ini yakni kesiapsediaan untuk selalu ada demi merawat kedua orang tua. Beberapa diantaranya memilih membujang sebagai bentuk pengabdian kepada orang tua. Ada pula memiliki alasan karena merasa lebih nyaman hidup sebagai seorang deri gete.

Sedangkan bagi perempuan deri gete kelahiran tahun 1970 dan 1980, dengan tingkat pendidikan sekolah menengah atas hingga tamat perguruan tinggi, memiliki alasan yang lebih beragam. Bagi perempuan deri gete di tahun 1970-an, dengan tingkat pendidikan sekolah menengah atas, alasan utama memilih jalan hidup ini adalah membantu saudara mengurus dan merawat anak, serta berbakti kepada kedua orang tua. Namun, ada juga beberapa alasan bagi perempuan deri gete tahun 1980-an, karena belum menemukan jodoh yang tepat, merasa lebih nyaman dengan kesendirian, hingga merasa belum cukup siap untuk menjadi ibu rumah tangga dan mengurus keluarga.

Berdasarkan beberapa alasan yang ditemukan dalam penelusuran ini, penulis menemukan dua faktor penyebab, yakni faktor internal dan faktor eksternal yang mempengaruhi pilihan hidup deri gete. Tingkat pendidikan, keadaan ekonomi, dan perkembangan zaman yang berbeda di setiap tahun adalah faktor-faktor pendukung eksternal lahirnya alasan yang beragam ini. Salah satu faktor internal adalah empati sebagai kekuatan utama jiwa perempuan, seperti dijelaskan Sabina Spielrein.

Sabina Naftoulovna Spielrein, psikiater dan dokter anak asal Rusia adalah psikoanalis perempuan pertama yang memandang psike perempuan secara berbeda. Ia melihat psike perempuan sebagai aktif dan dinamis, dengan empati sebagai karakter terpenting dalam psike perempuan. Dalam artikelnya yang berjudul The mother in law, Spielrein mengembangkan dua ide yang sangat menarik tentang psike perempuan. Pertama, Spielrein mendefinisikan psike perempuan dari hubungan-hubungannya dengan orang lain. Kedua, psike perempuan khas karena memiliki kemampuan berempati. Perempuan tidak menghayati emosi dan perasaaan mereka secara pasif. Sebaliknya melalui kapasitas empatik mereka bertindak secara aktif dalam relasi-relasi interpersonal dan sosial.[3]

Perempuan dalam pandangan Spielrein mampu memahami dan merasakan pengalaman serta pemikiran orang lain. Perempuan mampu mempersepsikan perasaan orang lain dengan mengalaminya atau bahkan mengalami kembali dalam diri mereka sendiri secara psikologis. Melalui kapasitas empati, perempuan berperan aktif dalam hubungan interpersonal dan sosial.  Beberapa alasan pendukung yang saya temukan dalam penelususran alasan hidup memutuskan deri gete, maka empati, sebagai kekuatan psike perempuan ini nyata dan dihidupi oleh perempuan deri gete.

Kekuatan empati hadir dalam bentuk pengabdian kaum perempuan deri gete kepada orang tua dan keluarga. Alasan sederhana yang paling sering saya temukan yakni kepekaan pada penderitaan, sakit, kebutuhan orang tua dan bahkan saudara-saudari dalam keluarga. Turut berpartisipasi dalam memenuhi kebutuhan keluarga entah kebutuhan ekonomi keluarga, hingga kebutuhan yang berkaitan erat dengan psikologi semisal perhatian, kasih sayang dan dukungan bagi setiap anggota  keluarga.

Selain keluarga sebagai pihak pertama yang menerima keberadaan perempuan deri gete sebagai wujud nyata pilihan hidup yang dipilih secara otonom sebagai seorang pribadi yang bebas dan bertangggung jawab, kehidupan bermasyarakat dan Gereja menjadi dua faktor pendukung yang turut memberikan sumbangsih lestarinya pilihan hidup ini. Dalam kehidupan bermasyarakat ada beragam pandangan terhadap pilihan hidup ini.

Perempuan deri gete terlibat  dalam kehidupan  masyarakat  melalui berbagai program kerja desa, kelompok-kelompok sanggar tenun, serta  kelompok tani yang dibentuk untuk mendukung kerja petani dan penghasilannya. Melalui berbagai kegiatan sosial masyarakat  ini perempuan deri gete mendapat ruang untuk bersosialisasi dengan masyarakat luas, mendukung keterampilan dalam hal menenun, bertani bahkan menjalin relasi dengan komunitas atau masyarakat luar demi kemajuan program yang dicita-citakan bersama.

Meskipun banyak kegiatan yang melibatkan perempuan deri gete ini, tidak sedikit masyarakat yang masih memberikan stigma negatif atau stereotip terhadap pilihan hidup mereka. Beberapa stigma negatif atau stereotip yang sering ditemukan yakni perempuan deri gete dipandang sebagai tidak diinginkan secara sosial dan dicap perawan tua.

Pilihan hidup yang dijalani kadang juga dikaitkan dengan kepercayaan mistis magis yang masih berlaku oleh masyarakat sebagai kutukan atau akibat dari kesalahan keluarga menjalankan tradisi adat istiadat. Stigma negatif ini masih bertahan hingga kini, meski iman gereja Katolik sudah menjadi ajaran yang dihidupi beririsan dengan warisan budaya. Stigma negatif dan stereotip ini kadang tidak dianggap sebagai persoalan serius oleh masyarakat. Bagi mereka hal ini seringkali terucap dalam bentuk candaan dan merupakan hal biasa yang pantas diterima oleh perempuan deri gete.

Di sisi lain, perempuan deri gete juga terlibat aktif dalam pelayanan gereja. Berhadapan dengan berbagai stigma dan pandangan masyarakat tentang deri gete, Gereja menjadi rumah kedua yang memberikan ruang dan kesempatan bagi keberlangsungan hidup kaum perempuan deri gete. Ajaran moral cinta kasih yang selalu bergema dalam Gereja menjadi penopang, motivasi hidup dan keyakinan positif bagi deri gete sebagai suatu pilihan hidup yang diterima dalam kehidupan beragama.

Dari hasil penelusuran penulis, beberapa di antara perempuan yang memilih jalan hidup ini, terlibat aktif dalam hidup menggereja. Hal ini nyata dalam berbagai kegiatan gerejani yang melibatkan kaum perempuan, seperti kelompok doa Legio Maria, Santa Anna, koor lagu-lagu liturgi gereja, dan berbagai kegiatan gerejani lainnya. Perempuan deri gete cenderung merasa  nyaman, diterima, dan mendapat kesempatan untuk tetap bertahan dengan pilihan hidupnya meski stigma negatif atau stereotip masih melekat hingga kini.

Peran gereja dalam mendukung dan memberikan ruang bagi perempuan deri gete dalam menghadapi berbagai stigma negatif atau stereotip masyarakat menjadi salah satu faktor pendukung lestarinya pilihan hidup ini. Benar bahwa tidak semua perempuan deri gete merasa terganggu dengan berbagai stigma negatif yang ada dalam masyarakat, tetapi beberapa di antaranya menjadikan stigma negatif masyarakat sebagai persoalan besar yang tentu mengganggu keberadaannya sebagai seorang perempuan yang memilih jalan hidup membujang.

Oleh karena itu hipotesis sementara yang penulis simpulkan dari penelitian ini yakni deri gete sebagai sebuah pilihan hidup yang masih dihidupi  oleh beberapa perempuan Sikka hingga saat ini adalah sebuah pilihan hidup yang berada di antara  dua  sudut pandang yang berseberangan. Berhadapan dengan budaya dan nilai patriarki yang dihidupi hingga kini, harkat dan matabat seorang perempuan terutama dalam tata cara perkawinan tidak terpenuhi bila memilih jalan hidup ini. Namun di sisi lain empati sebagai kekuatan psike perempuan yang tetap kuat dihidupi oleh perempuan deri gete adalah sebuah bentuk pengabdian penuh kepada orang tua dan kepada keluarga.

Bila dikaitkan dengan kehidupan menggereja, iman menjadi satu faktor internal yang cukup kuat sebagai landasan dasar yang mempengaruhi dan mendukung keputusan seorang perempuan memilih jalan hidup ini. Keyakinan iman yang diajarkan dalam Gereja Katolik dan empati sebagai kekuatan psike perempuan menjadi dua faktor internal yang sangat kuat mendukung keberlangsungan hidup perempuan deri gete.

Penutup

Deri gete merupakan pencarian yang terbentang sebagai cerita sejarah. Sejauh penelitian yang dilakukan, penulis kesulitan menetapkan bagaimana istilah ini muncul dan berkembang, tetapi stigma serta pandangan terhadap cara hidup deri gete mempunyai corak yang bisa ditelusuri sejauh ini. Hipotesis sementara penulis, ada beberapa faktor yang membentuk pandangan masyarakat terhadap cara hidup ini.

Pertama, kedatangan Gereja, tidak hanya memindahkan Eropa dengan segala bentuk pelayanan pastoral di bidang kesehatan dan pendidikan seperti rumah sakit, biara, sekolah, tetapi juga keyakinan dan cara pandang terhadap hidup dan perubahan sosial yang terjadi di dalamnya.

Salah satu hal menarik yang tutut serta dalam misi gereja Katolik yang dihidupi hingga kini adalah perbedaan konsep akan kehidupan ideal. Di dalam tradisi lokal, selaras dengan ajaran tradisi dan budaya patriarki yang ada pada masyarakat, posisi tertinggi seorang perempuan adalah menjadi seorang istri dan ibu.

Mahar atau belis seorang perempuan dalam budaya masyarakat Sikka menjadi satu bentuk penghargaan terhadap perempuan dan keluarganya. Hal ini tentu sangat bersebrangan dengan deri gete yang dijalani para perempuan bujang. Sedangkan bagi Gereja, ada pandangan tentang kehidupan membujang yang disebut selibat. Hal ini didasari pada Matius 19:12. Perbedaan pandangan ini akhirnya membentuk stigma negatif, stereotip serentak sebagai dukungan atau penguatan bagi mereka yang menjalani hidup deri gete.

Selain konstruksi sosial yang terbentuk dari Gereja ataupun  tradisi, adat istiadat dan budaya, secara personal penulis menemukan bahwa kekuatan empati sebagai kekuatan psike perempuan menjadi hal penting yang mendukung keteguhan untuk mempercayai jalan hidup yang mereka pilih. Deri gete merupakan pilihan yang diperebutkan antara pembebasan perempuan dalam budaya patriarki masyarakat Sikka, pengabdian sebagai wujud nyata empati dan kekuatan psike perempuan dalam iman Katolik serta stigma negatif atau stereotip budaya patriarki yang masih lestari hingga kini.


 

[1] Karel Steenbrink, Orang-orang Katolik di Indonesia 1808-1942, (Maumere : Penerbit Ledalero,2006) hlm. 12.

[2] E.D Lewis dan Oscar Pareira Mandalangi,  Hikayat Kerajaan Sikka : Edisi gabungan dari dua tulisan tangan tentang sumber dan sejarah Kerajaan Sikka oleh Dominicus Dionitius  Pareira Kondi dan Alexius Boer Pareira, (Maumere : Penerbit Ledalero,2004) hlm. 172.

[3] Ester Lianawati, Ada serigala betina dalam diri setiap perempuan: Psikologi feminis untuk meretas patriarki, (Yogyakarta: eabookpublishing, 2020), hlm. 72.

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Kalender Postingan

Kamis, November 21st