“Kau belum benar-benar mencintai ketika kau tidak paham bagaimana melepaskan.”
Kalimat ini berputar di kepala saya ketika sudah memasuki bab terakhir dalam novel Tabula Rasa yang ditulis oleh Ratih Kumala. Jumlah halaman yang tidak terlalu banyak tidak membuat novel ini menjadi sederhana. Di dalamnya, ada banyak sekali renungan bagi pembaca. Tabula Rasa menjadi salah satu pemantik refleksi di saat dunia bergerak begitu cepat dan manusia dibuat terseok-seok dengan urusan perasaan. Tabula Rasa adalah lapisan demi lapisan perasaan dan pemikiran dari kedua tokoh yang dikupas oleh kemalangan dan waktu-waktu di antaranya.
Mungkin yang sudah pernah membaca buku ini akan sedikit kebigungan menentukan siapa tokoh utama dalam cerita ini. Sebab porsi penceritaan Galih dan Raras sama banyaknya. Saya akan mulai dengan kisah Galih.
Galih adalah anak seorang pegawai kedutaan. Perjalanan berpindah dari negara satu ke negara lain adalah hal biasa baginya. Pada suatu masa, keluarga Galih tiba di Rusia, tempat mula bertemunya Galih dengan Krasnanya. Hubungan mereka berjalan indah dan romantis. Pembauran dua kebudayaan antara Indonesia dan Rusia lebur dalam kisah romansa Galih dan Krasnanya. Kepiawaian Ratih Kumala menuliskan suasana membuat pembaca terbius sehingga larut. Ia tidak memilih Paris sebagai latar tempat seperti kebanyakan cerita romantis. Ratih memilih Rusia, lebih spesifik lagi di Moskow, tempat jasad Vladimir Lenin disemayamkan.
Mulanya, saya berpikir bahwa novel ini hanya akan mengisahkan kisah romansa picisan antara laki-laki Indonesia dan perempuan Rusia yang terhalang oleh jarak dan waktu dengan kobar asmara yang berapi-api. Namun pemikiran tersebut segera enyah dengan tragis. Tidak pernah terbayangkan oleh saya kisah romantis akan dipadukan dengan keadaan politik dua negara yang sedang berkecamuk. Hal itulah yang memisahkan Galih dan Krasnanya.
Saya berubah pikiran. Kisah ini tidak sesederhana yang saya bayangkan dan cukup membuat terhenyak di beberapa bagian. Diceritakan, suasana politik di masing-masing negara sedang tidak baik-baik saja karena berkembangnya ideologi komunisme. Dua manusia itu saling mencintai tetapi terpisah sebab kegilaan zaman. Krasnanya seakan menjadi tumbalnya. Ia harus meregang nyawa sebab hubungannya dengan Galih, seorang anak pegawai kedutaan Indonesia yang diduga berafiliasi dengan komunisme. Keluarga Galih serta orang-orang yang terhubung dengan mereka harus mendapat pengawasan.
Seketika Galih terhempas dari Krasnanya yang telah menjadi dunianya dan dipaksa hidup dalam kebekuan pada waktu yang lama. Dunia Galih terhenti pada kejadian itu. Hatinya tertahan di makam Krasnanya. Perasaannya tenggelam dalam murka sebab rezim merenggut kekasihnya.
Tubuh dan pikiran Galih berkelana mencari penyebab mengapa kegilaan itu bisa terjadi di tanah airnya? Mengapa ia dan kekasihnya yang menjadi korban? Sampai suatu ketika, ia bertemu dengan Raras di sebuah benteng tua terbengkalai di Jogja. Tempat itu hanya menyisakan tembok dan atas seadanya. Raras menyebut tempat itu sebagai “sarang kesenian”, sebab di sanalah tempat berkumpulnya para seniman, khususnya perupa. Melihat Raras melukis, Galih bagai melihat Krasnanya di tubuh manusia lain.
Raras adalah seorang mahasiswa kesenian yang amat mencintai puisi. Ia perempuan Jawa yang ayu dan unik. Kisah masa kecilnyalah yang membentuknya menjadi pribadi yang seperti ombak: menenangkan sekaligus tidak terprediksi.
Tidak kalah peliknya dengan Galih, ternyata Raras pun memiliki kisah cinta yang menyedihkan dengan seorang pecandu narkoba bernama Violet. Persahabatan dengan perasaan mengingini begitu besar tumbuh di hati Raras. Violet meninggal karena overdosis. Violet meninggal tanpa tahu perasaan Raras kepadanya. Raras hidup dengan penyesalan menggerogoti hatinya. Ratih Kumala benar-benar mempermainkan emosi pada bagian ini. Sebab ketika garis waktu Galih dan Raras sejajar dan tidak ada penghalang apapun, pada akhirnya mereka tidak dipersatukan.
Hubungan dosen dan mahasiswa ini diceritakan begitu natural. Kebiasaan meminjam buku dan berdiskusi membuat mereka semakin dekat. Melalui kegemarannya pada sastra, keduanya mulai saling menjalin. Raras hampir terobati, Galih siap untuk membuka hati kembali. Namun nyatanya kedua manusia ini masih memelihara subur masa lalunya. Walau tanpa cahaya, Violet tetap tumbuh dalam benak Raras. Pun Krasnanya abadi dalam hati Galih. Pertemuan Galih dan Raras diisi dengan semakin membohongi diri sendiri. Tak mau menodai cinta yang mereka pahami, Raras memilih pergi ke luar negeri mencari hidup barunya dengan Violet dan tanpa Galih. Namun apakah ada yang merasa tersakiti? Tidak, keduanya begitu lapang saling meninggalkan.
Ada beberapa poin menarik dari buku ini: jalan cerita yang disampaikan secara acak dan maju mundur dan cara penulis memilih kata dalam kalimat yang menyenangkan ketika dibaca. Tabula Rasa menimbulkan rasa penasaran teramat besar tentang kelanjutan kisah para tokohnya; tentang hal-hal lain yang hendak disampaikan penulis.
Hal lain yang menjadikan buku ini menarik yaitu menimbulkan beberapa kecurigaan yang ingin terus saya gali dengan membacanya semakin dalam. Salah satunya adalah pertanyaan: mengapa sampul cetakan (tahun 2016) ini menggunakan ilustrasi boneka matryoshka?
Rupanya ilustrasi boneka matryoshka tidak hanya berkaitan dengan Rusia. Boneka matryoshka memiliki banyak lapisan atau isi jika dibuka. Boneka matryoshka menggambarkan manusia yang memiliki banyak cerita, pengalaman, kisah, perasaan yang bisa terkupas satu-persatu seiring berjalannya waktu. Begitupun kisah Tabula Rasa yang berkelindan di antara tokoh. Ratih Kumala sebagai penulis tidak hanya menceritakan bagaimana cinta yang terjadi di antara tokoh tapi juga menyelipkan “kewarasan” tentang mencintai yaitu membebaskan, cinta yang tidak membelenggu.
Sebagai pembaca, hal yang saya dapatkan dari novel ini bukan hanya pembendaharaan kata dan ide cerita melainkan juga pembelajaran untuk menyelami perasaan sendiri, serta tumbuh dan berani untuk menerima hasil dari ramuan perasaan-perasaan itu sendiri. Seperti boneka matryoskha, perasaan manusia berlapis. Untuk sampai pada intinya, manusia perlu waktu dan kesadaran penuh. Kemampuan seperti ini memang seharusnya dimiliki manusia masa kini, di tengah dunia yang bergerak begitu cepat. Cinta yang begitu besar layaknya diberikan tidak hanya kepada sesama manusia, tetapi kepada hidup yang menghidupi manusia itu sendiri.
Membaca Tabula Rasa saat kondisi hati sedang tidak baik-baik saja bisa menghadirkan dua kemungkinan. Pertama, terjerembab semakin dalam ke dalam emosi tidak menyenangkan. Kedua, menjadi semakin kuat dan ingin segera terbebas dari belenggu kesedihan yang dirasakan.
Saya golongan yang pertama, sebab saya dibuat heran. Bagaimana keinginan memiliki yang begitu besar justru harus dilepaskan? Bukankah itu hanya akan membuat kita semakin menderita? Namun setelah semakin dalam merenung, saya menarik kesimpulan bahwa semakin kita mencintai dan mengingini sesuatu, cinta menjadi kabur maknanya. Cinta bisa jadi memang sesungguhnya cinta, atau sekadar sikap egois manusia yang selalu ingin terpenuhi keinginannya?
Dari Raras dan Galih, saya belajar bahwa mencintai dengan cukup adalah kelimpahan. Bahwa tetap menumbuhkan masa lalu tanpa membunuh masa depan adalah kelimpahan. Cinta sejatinya demikian.