Reformasi. Kata yang mungkin melekat dan asing di saat yang sama. Tergantung Anda lahir tahun berapa di Indonesia. Bagi kami yang lahir tahun 1990-an awal, di Sekolah Dasar saat tahun 1998, dan sekarang umur 30-an, ingatan kami akan Reformasi 1998 antara ada dan tiada. Tergantung pada tubuh ini, apakah kita ingat pernah mengalaminya atau tidak.
Pada periode itu, saya berusia 8 tahun dan tidak sedang berada di Bali, daerah asal saya. Saya berada di Hongkong, mengikuti orangtua saya bekerja. Berita dari kanal Indonesia bisa kami dapatkan lewat televisi yang ada di aula Sekolah Indonesia Hong Kong tempat saya bersekolah. Selain itu, tergantung pada kanal setempat, apakah mereka meliput kejadian di Indonesia atau tidak?
Namun, kejadian Krisis Moneter (Krismon) 1997 paling melekat di ingatan saya, saat berita kanal setempat memberitakannya. Tante yang ikut menjaga saya di sana pun menggerutu. Nantinya orang tua saya juga ikut menjelaskan. Perasaan saya mulai tidak enak, apa yang akan terjadi ya? Saya tidak mengerti masalah ekonomi, tapi saya tahu bahwa Krismon adalah hal yang tidak baik.
Maka saat mendapat kesempatan untuk mengkurasi pameran “Mengingat 25 Tahun Reformasi” yang diadakan oleh Cemeti-Institut untuk Seni dan Masyarakat, jujur, pengalaman saya jauh dari apa yang terjadi di Kota Jakarta sebagai pusat pemerintahan. Namun dari obrolan-obrolan awal dengan tim artistik, Mbak Alia Swastika selaku Direktur Artistik dan Dwiki Nugroho Mukti selaku Kurator, hal yang ingin diangkat dalam pameran ini bukanlah mengglorifikasi apa yang telah terjadi, seperti kesuksesan mahasiswa menduduki pemerintah melengserkan Orde Baru dan Presiden Suharto, melainkan mencari ingatan-ingatan yang tercecer terhadap peristiwa yang terjadi di sekitar negara kita. Mbak Alia bahkan membuka kesempatan jika saya ingin mencari suara yang senada dengan apa yang terjadi dengan saya.
Dengan demikian, pameran ini dimulai dengan mencari ingatan melalui karya seni—yang sudah terbentuk, yang dibaca ulang, bahkan memproduksi yang baru pasca sebuah perbincangan. Proses kurasi yang terbentuk dan dibentuk lewat karya-karya seni dari berbagai daerah dan berbagai generasi terkumpulkan. Berbagai hal, cerita, dan bentuk kita temukan.
Seluruh proses kurasi memakan waktu beberapa bulan saja. Selama prosesnya berlangsung, kurator dan seniman bertemu baik langsung di lapangan, maupun secara virtual. Proses itu kemudian menghadirkan suara diaspora Indonesia dari Australia, yang senada dengan apa yang terjadi dengan saya dulu. Jarak yang terbentang antara Indonesia dengan diaspora ini menghasilkan perspektif yang lain tentang Indonesia lewat ingatan-ingatan mereka yang tercecer di era Reformasi dan pascanya. Perspektif ini tidak kalah penting untuk dibaca bersama.
Orde Baru dan Reformasi bisa dibilang sudah dimulai pasca kejadian berdarah 1965. Keterkaitan antara dua peristiwa itu membuat beberapa karya dalam pameran ini tidak lepas dari hal-hal yang berkaitan dengan 1965. Selain itu, pada masa pasca Reformasi, ada pihak yang mengangkat wacana bahwa dari peristiwa 1998 tidak ada yang berubah, menyesatkan, tidak lebih baik.
Dari wacana tersebut, nasionalisme pun menjadi perbincangan lebih lanjut: Indonesia seperti apa yang ingin dicapai? Ideologi apa yang ingin digapai? Apakah sistem demokrasi kita mencerminkan hal-hal yang diinginkan oleh masyarakat atau oligarki? Apakah tragedi yang terjadi di 1998 cukup menggoyahkan untuk Indonesia melaju ke demokrasi yang lebih baik?
Percakapan-percakapan itu terjadi pada pertemuan beberapa narasumber di Program Residensi Youth of Today yang diselenggarakan Ruang MES 56 sebagai bagian dari Pameran Mengingat 25 Tahun Reformasi. Belum lagi dengan adanya ketimpangan sosial—problematika ekonomi yang dikait-kaitkan dengan isu SARA. Keadaan ini pun menghasilkan pertanyaan terbuka untuk semua: bagaimana kita dibesarkan pada masa pra Reformasi, pasca Reformasi, dan ke depannya?
Peristiwa Krismon merupakan peristiwa kelam yang membuahkan berbagai dampak besar di Indonesia. Pameran ini memaksimalkan ruang untuk mengakomodasi ragam cerita sebanyak mungkin dari berbagai penjuru dan tercerminkan dalam berbagai media. Dari yang bersifat dua dimensi sampai tiga dimensi, yang bersifat layar dan instalasi, bahkan virtual, semua disuguhkan. Keragaman ini tidak saja memberikan kesempatan untuk saya mengerti dan mempelajari berbagai hal yang terjadi di era Reformasi, tetapi juga melengkapi cerita-cerita yang tidak banyak diketahui. Berita Krismon yang saya tonton di televisi ketika kecil dulu, telah berdampak merembet ke berbagai hal, dan meruntuhkan sebuah rezim pemerintahan.
Pameran ini mengambil tempat di lima ruang seni di sekitar Mantrijeron dan Minggiran, D.I. Yogyakarta. Di Kedai Kebun Forum (KKF), Ruang MES 56, LAV Gallery, Cemeti-Institut untuk Seni dan Masyarakat, serta KRACK. Kelima tempat itu dibagi berdasarkan kecenderungan karya-karya yang membahas kejadian Reformasi di ranah publik (di jalan, pemberitaan secara luas) dan di ranah domestik (terjadi di rumah, tempat tinggal).
Dari lima ruang itu, KKF dan KRACK menjadi yang mengangkat ranah publik; Cemeti-Institut untuk Seni dan Masyarakat mengangkat ranah domestik; LAV Gallery melebur keduanya. Sedangkan Ruang MES 56 adalah tempat kita mengajak program residensi khusus perempuan pekerja seni, Youth of Today, yang pada akhirnya memperlihatkan peleburan antara cerita ranah domestik sekaligus terlihat di publik.
Pameran ini juga kehadiran berbagai elemen yang mengajak pengunjung berinteraksi. Kami menyiapkan sebuah Sudut Baca di LAV Gallery. Di Sudut Baca itu, ada bahan bacaan dan arsip-arsip peristiwa seni yang berkaitan dengan Orde Baru dan Reformasi. Juga ada Peta Sebaran Peristiwa Reformasi 1998 di Indonesia yang bisa dilengkapi oleh pengunjung.
Karya-karya yang sifatnya interaktif tersebar di ruang seni lainnya, seperti di Kedai Kebun Forum ada Skolmus (Sekolah Musa) yang menyiapkan kotak transparan yang menutupi sebuah jaket dengan statement tentang “Kematian Reformasi” di Kupang dan Nusa Tenggara Timur yang boleh divandal pengunjung; rak “Suara-Suara Ngurah” berisikan bacaan tulisan I Ngurah Suryawan tentang Orde Baru, Reformasi dan Pasca Reformasi di Bali dan Papua; dan karya Meliantha Muliawan “Is Ignorance Really Bliss?” yang merefleksikan dua sisi semacam hologram dari ketidaktahuan perupa terhadap kejadian Reformasi yang ditutup-tutupi orang tuanya.
Di Ruang MES 56, ada karya fionnymellisa, “Journey of Enjoying Solitude“ yang mengajak pengunjung mendengar audio saat membaca fanzine yang dibuatnya sebagai refleksi terhadap masa kecilnya dengan pemantik indera yang ada di sekitarnya; karya Gisela Maria yang menyediakan ruang anak-anak dan ruang dewasa dalam merefleksikan “Penting dan Chaos“ yang terinspirasi dari kejadian Reformasi terhadap dirinya; dan “Jamu Ngatiyem” karya Syska La Veggie, refleksi ibu dalam menunjang perekonomian di masa Krismon dan Pandemi Covid-19.
Di Cemeti-Institut untuk Seni dan Masyarakat, ada berbagai bacaan, tontonan, dan instalasi yang bisa dicoba dalam memahami kejadian Reformasi serta nasionalisme yang diungkap oleh perupa Arif Furqan “Family to Nation”, Woven Kolektif “Siti Suharti” serta “Collective Reflections”, Sudut Kalisat “Ruang Tamu Kelabu”, Raslene “Ikutan Dong, Ikutan Ah”, dan duo Arifa Safura & DJ Rencong “Dancing Shadow”.
Kesan yang hendak disampaikan melalui elemen-elemen ini adalah bahwa karya seni sangat menarik untuk ditelusuri dan pengunjung tidak sekadar menonton pameran saja. Elemen-elemen tersebut mengajak pengunjung berinteraksi dan ikut aktif di dalamnya, sambil mempelajari sejarah kejadian Reformasi yang begitu beragam ceritanya.
Dalam pameran ini, terlihat bagaimana ingatan-ingatan terefleksikan secara individu, kolektif, maupun generasional. Perupa yang pada masa Reformasi sudah berada di usia 18 hingga 30-an merefleksikan kejadian-kejadian di sekitar Orde Baru dan Reformasi secara langsung. Media karyanya sesuai zaman tahun 1990-an akhir ke tahun 2000-an awal—lukis, cetak grafis, instalasi berisikan patung, video dan foto.
Sedangkan perupa yang kini berusia 20 hingga 30-an mengungkapkan ingatan-ingatan yang dialami dan diingat tubuhnya sendiri waktu kecil, arsip media, cerita-cerita dari keluarganya dan komunitasnya. Ini diproduksi dengan media yang sama seperti di atas, bahkan menggabung-gabungkannya. Cetaknya pun melebar ke digital, instalasinya meruang, dan memperlihatkan karyanya secara daring. Pameran ini memperlihatkan cara ungkap lewat media antar generasi.
Selain menyiapkan pameran, tim artistik bersama tim manajemen menyiapkan program publik yang berkaitan dan mengaktivasi tempat-tempat pameran. Ada tur galeri, diskusi, mural, dan pertunjukan. Adapun beberapa aktivasi datang dari ruang seninya sendiri seperti Artist Talk di Ruang MES 56 dan Nge-Krack di KRACK.
Menarik juga bagaimana beberapa aktivasi itu saling melengkapi pameran ini. Bahkan ada pula kegiatan komunitas yang menggunakan pameran ini sebagai rutenya seperti kegiatan gang-gangan (komunitas yang mengadakan jalan-jalan lewat gang-gang perumahan di sekitar kota) dan liputan-liputan kecil berbasis sosial media tentang pameran. Liputan tersebut menonjolkan kejadian sejarah sebagai basis pameran yang penting untuk dipelajari, salah satunya dengan menggunakan tagline kamu bisa lihat pameran sambil belajar sejarah! Mungkin karena Yogyakarta adalah kota yang penuh kampus dan pelajar, ajakan tersebut tepat untuk dikatakan. Ditambah Yogyakarta adalah kota dengan sejarahnya tersendiri, tempat perjuangan agar negara Indonesia merdeka. Saya rasa pameran ini ada di tempat yang tepat.
Walaupun pameran ini masih banyak kurangnya, kiranya pameran ini dapat memantik ingatan kolektif akan peristiwa Reformasi. Kita belum bisa secara lengkap menghadirkan peristiwa di setiap kota yang ada di Indonesia, atau melibatkan seniman dari Timor-Leste yang besar dan signifikan keterlibatannya dalam demonstrasi mahasiswa di Yogyakarta. Saya rasa masih banyak cerita yang masih tercecer dan penting untuk diceritakan.
Langkah Indonesia menuju kesetaraan masih panjang. Masih banyak ketimpangan sosial, ekonomi, dan strata. Paling tidak, pameran seni dapat menjembatani sejarah kelam, sebagai salah satu cara agar suara-suara bisa diekspresikan. Reformasi mungkin menggulingkan satu hal, namun tidak menutup hal-hal serupa muncul lagi. Dari sini, baiknya kita sama-sama belajar. Pilihan kita menyiapkan atau melanjutkan perjuangan serta mendapatkan sisi terbaik sejarah untuk semua.