Apa itu Siselo Susurang?
Siselo Susurang, frasa dalam bahasa Bajo yang berarti bertukar kabar/berbagi cerita. Siselo Susurang adalah bentuk apresiasi, ucapan syukur, perayaan gagasan dan usaha kecil untuk mengelola modal-modal kultural, potensi alam dan lingkungan serta isu-isu kontekstual di Kampung Wuring.
Siselo Susurang menampilkan karya-karya dokumenter berupa foto, cerita, buku resep, komik digital, film dokumenter dan dokumentasi proses kreatif yang dikerjakan bersama oleh Komunitas KAHE dengan warga Kampung Wuring melalui rangkaian forum kesenian (artistic encounter) dalam bentuk workshop, live in, musyawarah, silaturahmi, dan produksi/dokumentasi seni budaya sepanjang tahun 2020-2021. Karya-karya tersebut didasarkan pada isu, potensi, dan modal yang ada di kalangan warga Kampung Wuring, dengan pendekatan penciptaan bersama (collective creation).
Siselo Susurang bertujuan merawat, mendokumentasikan, dan mengelola warisan budaya, kesenian, dan aspek-aspek sosial-kultural di Kampung Wuring. Festival ini pun menjadi ruang bagi warga Kampung Wuring untuk menyampaikan gagasan, aspirasi dan kegelisahan yang dirasakan, sekaligus menjembatani pertemuan antara kebudayaan Bajo dan Bugis di Kampung Wuring yang mungkin selama ini berjarak dengan warga Kota Maumere serta publik yang lebih luas (Indonesia).
Kampung Wuring
Kampung Wuring adalah sebuah komunitas pesisir, mayoritas dihuni oleh orang-orang Bajo dan Bugis yang beragama Islam. Kampung Wuring terletak 5 km di arah barat laut Kota Maumere, Kabupaten Sikka, Flores-NTT. Berdasarkan cerita-cerita lisan, Kampung Wuring diperkirakan mulai terbentuk sejak awal abad ke-19, sezaman dengan terbentuknya kerajaan Sikka. Awalnya berupa sebuah tempat singgah semi nomaden yang dimanfaatkan para nelayan dan pedagang Bajo dan Bugis untuk beristirahat serta mengambil air. Tahun 1946, pasca kemerdekaan, Kampung Wuring mulai didiami oleh suku Bajo. Pertama-tama oleh keluarga Pijung Juma yang ditunjuk Raja Sikka menjadi kepala tabo (kampung). Migrasi selanjutnya terjadi berturut-turut pada dekade 1960-an, ketika merebak pemberontakan Kahar Muzakar dan peristiwa G30S/PKI, hingga era 2000an ketika krisis moneter mulai merebak di Indonesia. Secara geokultural, kampung ini menampilkan ciri khas yang berbeda dari mayoritas penduduk/komunitas adat di Kabupaten Sikka yang berasal dari rumpun etnis Krowe, beragama Katolik, dan bercorak agraris.