Dari Ekspedisi Menjadi Koreografi: Catatan Perjalanan dan Proses Residensi Tendi Karo Volkano

Menyambut Residensi dengan Ekspedisi

Angin berembus kencang seperti meniupkan tendi[1] ke pepohonan di dataran tinggi Sibolangit, sebuah kecamatan di perbatasan Kabupaten Deli Serdang dan Karo. Dedaunan meliuk dan menekuk di tangkainya masing-masing. Batang pohon merunduk dan menegak. Jauh di bawah jurang, sungai mengalir dan meriak di antara bebatuan. Alam seolah menyuguhkan suatu koreografi.

Jalan Jamin Ginting adalah jalan yang melewati tiga kabupaten/kota: Medan, Deli, Serdang, dan Karo. Pada satu titik di kilometer 55, ada beberapa tempat persinggahan yang di bawahnya jurang berbatu serta sungai. Di antara tanah yang bergelombang, kami menghampiri salah satu pucuknya. Dalam bahasa Karo, masyarakatnya mengenal kata penatapan yang diambil dari kata menatap atau memandang. Penatapan berarti tempat untuk memandang.

Karena tanahnya yang tinggi, Sibolangit menawarkan beberapa lokasi gardu pandang sebagai tempat singgah. Gardu-gardu itu bisa dikunjungi untuk menikmati alam Karo yang beberapa daratannya curam dan memiliki banyak pucuk. Dan begitulah perjalanan diawali dengan memandang hingga residensi usai. Memandang Karo dari jauh hingga dekat, baik alam maupun tradisinya.

Ekspedisi ini adalah bagian pembuka dari residensi seniman untuk pertunjukan teater Tendi Karo Volkano yang diinisiasi kelompok Teater Rumah Mata. Sebanyak 18 seniman dengan berbagai disiplin seni dari Karo, Medan, Semarang, Aceh, Riau, Langkat, dan Jogja menjelajahi Kabupaten Karo untuk merajut pertunjukan teater berbasis tradisi dan sejarah Karo. Tendi dalam bahasa Karo berarti jiwa. Tendi Karo Volkano secara harfiah artinya Jiwa Pegunungan Karo. Secara geografis, Kabupaten Karo atau yang bisa disebut warganya sebagai Tanah Karo memang terletak di ketinggian 1400 mdpl dan dikelilingi beberapa gunung. Ada enam gunung dan bukit yang sudah dikenal sejak lama sekali: Sibayak, Sinabung, Sibuatan, Bukit Sipisopiso, Barus, dan Pintau.

Naskah teater yang disusun sebenarnya ingin mengamplifikasi tradisi yang bertumbuh di wilayah dataran tinggi Karo dengan menonjolkan sosok penting dalam sejarah Sumatera Utara. Sosok tersebut ialah perlanja sira. Perlanja dalam bahasa Karo artinya pemikul atau pedagang. Sira berarti garam. Maka, perlanja sira adalah pemikul atau pedagang garam.

Menurut cerita dari salah satu seniman sekaligus budayawan lokal bernama Simpei Sinulingga, perlanja sira menjadi sebutan bagi orang-orang yang pekerjaannya mencari dan menjual garam. Perlanja sira ini berasal dari dataran tinggi Karo, mereka turun ke pesisir untuk mengumpulkan garam dan dibawa lagi ke Karo. Jarak antarkabupaten ini puluhan kilometer. Maka, kehidupan seorang perlanja sira sebenarnya habis ditelan letih karena ekspedisi tak berkesudahan demi garam. Garam adalah bahan yang amat langka di wilayah dataran tinggi. Padahal, sangat diperlukan untuk kebutuhan pangan, yakni penyedap masakan.

Meski sosoknya begitu penting, perlanja sira tak seperti Jamin Ginting, pahlawan berseragam yang namanya dibekukan dalam jalan sepanjang 71,3 kilometer. Para pemikul garam itu menjelma pahlawan-pahlawan anonim yang kisahnya diturunkan dari satu rumah ke rumah lain.

Itu sebabnya residensi ini diawali dengan ekspedisi untuk mengenal wilayah, sejarah, dan tradisi di Karo sembari menyelidiki kisah perlanja sira di desa-desa yang disinyalir pernah dilewatinya. Ekspedisi difokuskan ke dalam tujuh desa di Kabupaten Karo: Tongging, Dokan, Puncak 2000 Siosar, Kutu Rayat, Lingga, Daulu, dan Rajaberneh. Saya dan para seniman lainnya singgah selama satu malam di tiap desa sehingga kami menghabiskan tujuh hari perjalanan. Sebuah ekspedisi yang singkat dan padat dari segi waktu.

Peran saya sebagai koreografer dalam ekspedisi ini tak membiarkan saya tenggelam dalam keindahan alam Karo saja, tetapi juga menelisik dan mengalami koreografi tradisi masyarakatnya. Maka, tulisan ini merefleksikan perjalanan sekaligus menguraikan perjumpaan saya dengan tari tradisi Karo.

Tubuh Karo: Tubuh yang Me-landek

Setelah mengawali perjalanan di Penatapan Sibolangit tadi, kami melaju terus di antara bukit dan lembah. Tongging, Dokan, dan Siosar adalah desa-desa yang kami kunjungi kemudian. Di Siosar, kami berkesempatan berbaur dengan tubuh-tubuh Karo yang melafalkan koreografi tradisi mereka. Bahkan, saya dan kawan-kawan pun ikut menari bersama mereka! Di antara petikan kulcapi[2] dan siul sarune[3], kami melangkah dalam ritme pelan yang sama dan ayunan tangan ke atas ke bawah.

Keesokan harinya, kami mengunjungi Desa Kutu Rayat (desa yang berada di kaki Gunung Sinabung) dan Desa Lingga. Lingga menjadi tempat perjumpaan kedua saya dengan koreografi tradisi Karo. Di sanalah saya berjumpa Simpei Sinulingga. Ia menghabiskan waktu sepuluh tahun untuk belajar dan meneliti tradisi serta budaya Karo di berbagai wilayah. Secara khusus, cakupan budaya yang ia teliti adalah seni tari dan musik tradisional Karo. Itu sebabnya ia juga mendirikan sanggar seni tradisi di rumahnya dan telah mengajar ratusan anak-anak hingga remaja selama sepuluh tahun.

Bicara tentang tari tradisi Karo berarti bicara soal landek. Nama tarian khas Karo ini diambil dari kata endek, yang artinya gerakan naik-turun berulang. Gerakannya memang identik dengan tubuh yang naik-turun sambil melangkahkan kaki, baik di tempat, samping, depan, atau belakang. Bagi masyarakat Karo, landek bukan sekadar tarian. Namun, ia menjadi koreografi keseharian yang melekat-erat dengan berbagai proses sosial masyarakat: ritual, upacara adat, perayaan, hingga upacara kematian.

(Para remaja putri Desa Daulu berlatih tari. Dokumentasi Teater Rumah Mata)

Masyarakat Karo punya perayaan hasil panen bernama Kerja Tahun atau pesta tahunan. Melalui perayaan setahun sekali, mereka mewujudkan rasa syukur kepada Sang Pencipta karena berhasilnya panen usai menanam padi. Kerja Tahun adalah perayaan yang juga koreografis. Bibi Rabun, pengajar tari tradisi di Desa Daulu, bercerita bahwa bentuk Kerja Tahun saat ini diawali sebuah upacara yang dilakukan perwakilan lima marga induk dengan menari Landek. Kelima marga tersebut adalah Karo-Karo, Ginting, Tarigan, Sembiring, dan Peranginangin. Setelah mereka menari, warga desa lainnya ikut menari bersama-sama. Tarian bersama itu bisa dilakukan dari sore hingga pagi menjelang.

Masing-masing desa di Tanah Karo punya waktu pelaksanaan Kerja Tahun yang berbeda. Ada yang melaksanakan setelah menanam padi dan ada yang melaksanakan setelah waktu panen. Tak heran bila hampir seluruh masyarakat Karo sejak dini pun mampu menari. Sejak kanak mereka sudah berkenalan dengan Kerja Tahun. Saat itulah mereka me-landek bersama. Biasanya, Kerja Tahun menyuguhkan landek dalam wujud tari kreasi tradisi seperti Terang Bulan, Roti Manis, dan Piso Surit.

Selain perayaan panen, dahulu masyarakat Karo juga merayakan perjumpaan antar lawan jenis. Simpei bercerita bahwa dahulu anak laki-laki dan perempuan di bawah usia remaja tidak diperbolehkan bertemu. Salah satu tujuannya adalah untuk menghindari potensi hubungan asmara antara orang dengan marga yang sama. Pernikahan sesama marga adalah tabu. Sebab, sejatinya mereka masih punya ikatan darah.

Lebih lanjut, Simpei bercerita bahwa dalam Kerja Tahun di masa lampau, pemuda-pemudi baru diperbolehkan bertemu. Remaja lelaki dan perempuan dari marga berbeda akan dipanggil satu persatu. Kemudian, mereka akan me-landek secara berpasangan. Landek menjadi bahasa pertama untuk berkenalan serta saling mendekatkan diri. Kosakata tubuh yang dikoreografikan memang punya makna-makna yang secara khusus mengarah pada pesan untuk menjalin hubungan.

Sebelum memulai kepada gerak inti, gerak yang menjadi pembuka adalah gerak tangan naik ke tengah, lalu ke atas dengan telapak menghadap depan. Gerak ini menjadi salah satu penghormatan untuk menghormati Tuhan yang di bawah, di tengah, dan di atas.

Lalu, penari perempuan mulai menempelkan jemari tangan kanannya di samping pinggul kanan. Jemari itu melambangkan rahim karena terletak sejajar dengannya. Kedua tangan juga digerakkan dari samping pinggul ke depan dada sambil memutar pergelangan tangan, lalu telapak tangan menghadap depan. Telapak tangan membuka yang seolah hendak membawa sesuatu itu melambangkan bahwa sang penari mampu ikut membawa beban jika kelak hidup bersama seorang lelaki.

Penari lelaki pun membalas dengan membuka telapak tangan dan sejajar dengan telinga. Kemudian, telapak tangan sedikit menghadap ke atas. Gerak tangan seperti ini memiliki arti yang sama, yaitu siap memikul beban. Beban yang dimaksud berupa tanggung jawab ketika berumah tangga nantinya.

Perempuan juga akan membuat gerak tangan membuka di depan perut. Tangan kanan akan melebarkan jangkauan hingga ke atas kepala. Ini bermakna perempuan siap membesarkan anak. Tarian ini pun diakhiri dengan sang lelaki mengarahkan kedua tangannya berdekatan di depan dada dengan ibu jari dan telunjuk yang mengapit. Gerak ini menyiratkan sebuah ajakan untuk menyatukan hati bersama.

Namun, pemaknaan tersebut merupakan bagian dari memori kolektif warga di masa ketika perjumpaan antar lawan jenis masih begitu tabu dan peran perempuan masih dikotakkan dalam kerja-kerja domestik saja seperti mendampingi pasangan serta menghasilkan keturunan.

Cerita dari Simpei mengenai Landek menghadirkan suatu refleksi bahwa tari bagi masyarakat Karo bukanlah pelengkap gegap gempita perayaan semata. Bagi mereka, tari adalah medium transmisi pengetahuan. Melalui Landek, masyarakat Karo menurunkan suatu norma, nilai, dan tata cara kepada generasi selanjutnya melalui tubuh.

Dalam gerak tangan dari bawah ke atas masyarakat Karo menyimpan arsip tubuh bagaimana spiritualisme nenek moyang mereka yang menjunjung kesetaraan. Menganggap bahwa sejatinya Tuhan menubuh dengan setiap subjek dan objek di sekitar mereka sehingga menghormati sesama dan alam sekitar menjadi amat penting. Melalui gerakan landek berpasangan juga menunjukkan bahwa tari jadi bentuk komunikasi yang mampu mendahului kata dan ucapan.

Lubang dalam Perjalanan dan Upaya Menyiasatinya

Di Lingga, saya tak hanya belajar landek bersama Simpei dan murid-murid sanggarnya. Namun, saya juga mendengar cerita-cerita Simpei tentang perjalanannya ketika mempelajari seni tradisi Karo. Rupanya, ia sempat bertemu warga yang masih menyimpan memori tentang perlanja sira. Melalui Simpeilah saya bisa mendapatkan cerita bahwa Sibolangit, kecamatan yang dilalui di awal perjalanan, adalah salah satu wilayah yang masih menyimpan makam perlanja sira. Simpei juga bercerita bahwa salah seorang pinisepuh di sana bercerita tentang pemikul garam yang mati bunuh diri karena kelelahan dan keputusasaan yang luar biasa. Kisah tragis ini barangkali tak akan saya dengar jika tak menyempatkan berbicara langsung dengan warga lokal seperti Simpei selama ekspedisi.

Ketika perjalanan berlangsung, kisah perlanja sira yang menjadi subjek sentral dalam naskah teater malah menjelma seperti angin. Ekspedisi yang singgah terlalu cepat di satu desa dan desa lainnya membuat narasi-narasi tentang perlanja sira tak benar-benar digali.

Maka, cerita-cerita yang menjadi sempalan di sela-sela obrolan tadi menunjukkan bahwa ekspedisi yang berjalan sejatinya tak memberi cukup waktu untuk mendengar serta belajar tentang sejarah Karo dari warga. Padahal, warga sejatinya adalah agensi-agensi yang ikut memelihara sejarah suatu desa, seperti pinisepuh yang diceritakan Simpei. Kisah tentang kumpulan orang yang telah lama terpinggir dan tertimbun menjadi sepintas lalu saja dalam perjalanan dan tak mendapatkan refleksi yang mendalam untuk bisa diolah bersama warga menjadi pertunjukan yang sejatinya mampu mereka miliki juga.

Setelah mampir di Desa Lingga dan mendalami makna Landek bersama Simpei Sinulingga, saya dan para seniman melanjutkan perjalanan ke lokasi terakhir, yaitu Daulu dan Rajaberneh. Kedua desa tersebut berada di kaki Gunung Sibayak. Namun, Rajaberneh terletak lebih dekat dengan Sibayak. Rajaberneh juga dipilih menjadi lokasi pertunjukan, tepatnya di salah satu halaman vila yang datarannya lumayan curam, yaitu Villa Puncak DP. Sesampainya di Rajaberneh, kegiatan yang dilakukan kebanyakan survei tempat. Lalu, mampir sejenak ke Daulu. Saya, sutradara, tim pemusik, dan tim dokumentasi bertemu dengan sekumpulan anak serta remaja yang rencananya akan dilibatkan dalam pertunjukan teater. Kami berkenalan dan melihat mereka berlatih menari di jambur atau sejenis aula desa.

Di Daulu itulah ternyata saya diberi tugas menjadi jembatan antara tim pertunjukan teater dengan warga yang akan dilibatkan dalam pertunjukan. Selama dua hari saya berusaha untuk berkenalan dan mengumpulkan orang-orang yang ingin terlibat dalam pertunjukan kami. Kemudian, selama enam hari menggagas koreografi bersama mereka. Pada akhirnya, kami melibatkan para remaja Daulu, SMKN 1 Berastagi, dan pernandeen[4] dari PKK Desa Rajaberneh atau kini dikenal Semangat Gunung.

Para remaja Daulu berlatih di jambur. (dok. Teater Rumah Mata)
(Para remaja Daulu berlatih di jambur. (dok. Teater Rumah Mata)

Selama delapan hari berupaya saling mengenal dan mengagas koreografi bersama, saya mendapatkan lebih banyak cerita tentang tradisi yang bertumbuh di kedua desa, khususnya Rajaberneh. Pernandeen yang saya temui salah satunya ialah anak dari mantan kepala desa di tahun 1990-an. Ia masih menyimpan memori tentang ritual-ritual yang biasa dilakukan oleh warga Rajaberneh. Apalagi, pertunjukan ini ingin menampilkan ulang salah satu ritual pembersihan atau penyembuhan penyakit yang bernama Erpangir Ku Lau. Keputusan untuk menampilkan ulang ritual ini cukup membuat saya resah karena saya dan para seniman sejatinya tidak ada yang berasal dari atau bertumbuh di Rajaberneh.

Namun, sebagai koreografer yang ikut merangkai beberapa adegan, akhirnya saya bersiasat dengan melibatkan pernandeen sebagai koreografer untuk mewujudkan representasi koreografis dari ritual Erpangir Ku Lau. Melibatkan peran mereka sebagai koreografer memberi ruang untuk menuangkan memori kolektif tentang tradisi dan ide-ide mereka sendiri.

Justru ketika kami berlatih dan berdiskusi bersama, saya belajar lebih banyak mengenai ritual-ritual lainnya. Salah satunya yaitu ritual Persentabi, di mana ketika ada warga pendatang yang masuk ke Rajaberneh untuk mendirikan suatu bangunan atau berbuat sesuatu semestinya memohon izin. Persentabi sendiri diambil dari kata sentabi yang artinya maaf atau mohon izin. Dan ritual tersebut semestinya berlaku bagi kelompok seniman residensi ini juga yang hendak memacak tiang-tiang panggung dan merepresentasikan salah satu ritual cerita rakyat. Mendengar warga bercerita membuat saya semakin resah karena hal-hal demikian seharusnya sudah kami pelajari bersama warga jauh sebelum pertunjukan. Sementara itu, pertunjukan akan dimulai dalam hitungan hari. Maka, dengan strategi pengaturan waktu, saya dan tim residensi menyempatkan beberapa jam di pagi hari-H pertunjukan untuk melakukan Persentabi

Pertunjukan yang diinisiasi Teater Rumah Mata sejatinya tidak hanya mengangkat cerita perlanja sira. Namun, juga mengangkat cerita rakyat Gunung Sibayak, terutama cerita tentang leluhur bernama Ernala yang menjaga Sibayak dan seorang tabib termasyhur pada masanya, yakni Guru Penawar. Itulah sebabnya Rajaberneh, desa yang berada di kaki Sibayak, dipilih sebagai lokus pertunjukan. Kumpulan cerita rakyat ini berusaha dikumpulkan dan direkonstruksi menjadi sebuah naskah teater yang mencakup tokoh-tokoh legendaris tersebut.

(Gunung Sibayak. Dokumentasi Pribadi)

Akan tetapi, upaya merepresentasikan ulang tradisi atau cerita dari suatu kelompok masyarakat seringkali tak lepas dari jebakan exotic others. Sebagai tubuh-tubuh pendatang, saya dan seniman residensi lainnya rentan terjebak pada tatapan eksotis dalam melihat segala lelaku, aktivitas, atau cerita-cerita yang berhubungan dengan masyarakat Karo. Tatapan eksotis itu membuat semua yang berbeda serba menarik dan perlu dicatat, didokumentasi, hingga dipresentasikan ulang. Cerita-cerita rakyat yang telah terkumpul tadi dicatat dan dikonstruksi ulang menjadi kisah dalam naskah teater yang telah lebih dulu dibuat oleh tim penulis naskah sebelum residensi dimulai. Proses residensi kemudian menjadi wujud untuk merealisasikan naskah tersebut. Bukan mencoba mendengar dan belajar dari warga Daulu dan Rajaberneh tentang tradisi mereka.

Yang menjadi persoalan adalah ketika upaya representasi tersebut hanya berasal  dari perspektif orang-orang yang bukan masyarakat asli Karo. Tanpa perspektif masyarakat aslinya sendiri, terlebih mereka yang masih memelihara sejarah dan tradisi di desanya, upaya pelibatan dalam pertunjukan saja barangkali tak serta merta menghapus sikap peliyanan seniman terhadap warga.

Kisah tentang perlanja sira yang awalnya ingin menjadi nyawa dalam residensi dan pertunjukan justru menjadi kisah tempelan saja.Upaya mencatat dan merekonstruksi tradisi serta cerita rakyat sejak dalam benih naskah menjadi hak para warga aslinya juga. Sebab, siapakah kami para seniman dalam lintasan panjang sejarah warga Rajaberneh?

Pada akhirnya, praktik koreografi yang upaya diupayakan untuk menghindari bentuk alienasi terhadap warga kemudian tak sekedar merepresentasikan dan melibatkan saja. Namun, memberi ruang bersama untuk saling berbagi pengetahuan dan merayakan keseharian. Mengunyah kapur sirih beserta tembakau di sela-sela latihan, lalu menjahit koreografi baru secara bersama untuk perayaan Kerja Tahun mendatang menjadi pengalaman yang rupanya membahagiakan baik warga maupun saya.

(Bersama dua pemeran teater dan pernandeen Rajaberneh)

Catatan kaki:

[1] tendi, jiwa dalam bahasa Karo

[2] kulcapi, alat musik tradisional dari Karo yang menyerupai gitar kecil dengan dua senar saja

[3] sarune, alat musik tradisional Karo berupa alat tiup seperti seruling terbuat dari bambu dan berbentuk mengerucut

[4] pernandeen, Ibu-ibu dalam bahasa Karo

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
trackback

[…] kemungkinan tatapan yang bias atas tradisi yang ingin ia geluti. Dalam catatan prosesnya berjudul Dari Ekspedisi Menjadi Koreografi: Catatan Perjalanan dan Proses Residensi Tendi Karo Volkano, kita bisa melihat bagaimana perspektif koreografi yang ia punyai amat membantunya memetakan dan […]

Kalender Postingan

Jumat, Januari 24th