Malam itu, di pertengahan 2022, untuk pertama kalinya saya menonton kesenian jaranan atau kuda lumping. Di pelosok Temanggung, tak jauh dari kaki Gunung Sindoro, jaranan itu dipentaskan di atas panggung kayu yang ditopang oleh roda-roda mesin pembajak sawah. Kesannya sangat kampungan! Namun, tak pernah saya sangka sebelumnya, panggung yang terkesan kampungan itu menopang kesenian berisi narasi-narasi besar yang bahkan sering saya jumpai di Yogyakarta, seperti lakon Nyi Roro Kidul, Sultan Agung, hingga Ratu Kalinyamat.
Sebagai ruang hidup sehari-hari, Yogyakarta telah membentuk cara berpikir saya mengenai apa itu Jawa, juga soal apa pun yang berada di belakangnya. Di Yogyakarta, kebudayaan dan kesenian dinarasikan luhung dan luhur, tertata sesuai pakem; baik wayang, gamelan, maupun tari, misalnya, harus berdasar pada teks Ramayana, Mahabarata, hingga mitos hubungan raja Jawa dengan Nyi Roro Kidul. Mulanya saya kira Temanggung akan punya corak kesenian berbeda dari Yogyakarta. Namun, kedua wilayah yang terpisah jarak 77 km itu corak keseniannya ternyata tak jauh beda, seolah-olah Temanggung dan Yogyakarta adalah bagian dari Jawa yang satu, Jawa yang sama.
Tetapi, apa itu Jawa?
Sebelum menjawab itu, kita harus lebih dulu bertanya: mengapa saat ini Yogyakarta dan Surakarta menjadi kiblat seni-budaya Jawa? Ritus kebudayaan di Jawa Pinggiran seperti Temanggung dan kabupaten sekitar sangat bergantung pada narasi kebudayaan Yogyakarta-Surakarta sebagai Jawa Pusat. Dengan kata lain, Yogyakarta dan Surakarta menjadi rezim kebenaran kebudayaan Jawa. Seolah-olah, masyarakat Jawa Pinggiran adalah sekumpulan orang-orang rendahan tak adiluhung yang perlu ‘menjadi seperti Pusat’ untuk mengekspresikan bentuk keseniannya. Kenapa itu bisa terjadi? Dan sejak kapan situasi semacam itu bermula?
Usut punya usut, semua itu memang bermula ketika kelindan kolonialisme Eropa-Mataram menggenjot produksi pengetahuan soal Jawa melalui aparatus kekuasaannya. Setidaknya, ada dua tahap bagaimana Jawa ditunggalkan dalam satu narasi besar. Pertama, tahap penunggalan secara fisik pada masa Sultan Agung (abad 17). Kedua, tahap penunggalan epistemik pasca Perang Jawa (1830). Penunggalan fisik oleh Sultan Agung sang penguasa Mataram Islam itu rupanya berhasil menciptakan subjek-subjek patuh. Kepatuhan ini memuluskan rencana penunggalan Jawa pada periode-periode berikutnya. Benih Jawa yang manunggal itu tumbuh dalam rahim pengetahuan institusi Het Instituut voor de Javaansche Taal te Soerakarta (abad 19) dan Java Instituut (abad 20).[1] Melalui rahim kedua institusi ini pula, para patron ‘dilahirkan’ untuk mengkaji berbagai bidang studi mengenai Jawa. Dari awal, keduanya memang dibentuk berdasarkan semangat pencerahan, gairah untuk memberadabkan masyarakat terjajah.
Ketika Politik Etis diberlakukan pada awal abad 20, para elit Jawa dibuat lena. Mereka yang semula sibuk rebutan kekuasaan dengan cara berperang jadi gabut dan tidak punya pilihan lain selain memberadabkan kawulanya di pelosok-pelosok Jawa, agar bisa dilihat bermartabat oleh orang-orang Eropa. Situasi ini membuat para elit Jawa lambat laun ‘tercerahkan’. Mereka turut terlibat menjadi agensi untuk memberadabkan Jawa pinggiran yang dianggap tak adiluhung itu.
Fenomena ini dapat dibaca sebagai siklus relasi kuasa-pengetahuan yang berkelanjutan. Sebagai siklus kuasa, kolonialisme tidak hanya berhenti pada gerak kolonial Eropa. Upaya Kesultanan Mataram Islam memberdababkan para kawula di pelosok Jawa juga adalah bagian integral dalam siklus kuasa kolonial itu. Kerja politik pengetahuan para elit Jawa dalam berbagai mode produksinya adalah cara melanggengkan kekuasaan kolonial. Jika kuasa Eropa adalah kolonialisme eksternal, maka Jawa-Mataram adalah kolonialisme internal. Dalam konteks ini, masyarakat Jawa Pinggiran harus hidup dengan topeng Mataram Islam, yang agung nan adiluhung dan bersifat Pusat. Oleh karena itu, saya hendak menjadikan Temanggung sebagai metode untuk melakukan de-urbanisasi, sebagai bentuk dekolonisasi.
Sebelum konsep urbanisasi modern ala Eropa tiba di Kepulauan Nusantara, Jawa tidak mengenal apa itu urbanisasi. Sebelum ditunggalkan di bawah panji Mataram Islam, masyarakat Jawa hidup berpindah-pindah. Penunggalan era Sultan Agung pun tak cukup kuat mengubah perilaku masyarakat Jawa yang nomaden untuk menetap di satu wilayah. Pada masa akhir Perang Jawa (1830), barulah masyarakat Jawa berhenti bergerak dan menetap di satu wilayah.[2]
Proses urbanisasi di Jawa terjadi hampir bersamaan dengan munculnya konsep urbanisasi modern di Inggris pada abad 19. Pasca Perang Jawa, pemerintah kolonial membuat kebijakan Tanam Paksa. Sejak kebijakan itu berlaku, bibit-bibit tembakau yang ditanam di Temanggung mulai dikomodifikasi. Sebagian hasil panennya dibawa ke Yogyakarta dan Kudus untuk dilinting menjadi cerutu. Untuk mempermudah pengiriman, pemerintah kolonial membangun rel kereta api yang menghubungkan Parakan (‘ibu kota’ pertama Temanggung) dan Yogyakarta. Selain politik Tanam Paksa, penguasaan pemerintah kolonial atas tanah-tanah keraton pun menjadikan Jawa bergerak lebih cepat. Masyarakat Jawa juga terikat dengan tanah serta satu pekerjaan tetap. Kira-kira, beginilah gejala paling awal urbanisasi di Jawa.
Urbanisasi sebagai Praktik Kolonial
Kuan Hsing Chen, seorang pemikir dari Taiwan, dalam bukunya yang berjudul asia as Method: Toward Deimperialization (2010) berpendapat bahwa kolonialisme adalah bentuk lanjutan dari imperialisme. Ini berarti, kuasa berjalan tak tunggal. Imperialisme adalah sebuah proses ganda, antara apa yang terjadi di pusat imperium maupun apa yang terjadi di pusat-pusat kuasa di daerah vasal. Dengan kata lain, kolonialisme itu parsial. Situasi kolonial di Jawa terhubung dengan situasi imperialnya Eropa. Dan sebagaimana imperialisme, Urbanisasi (dengan U besar) bekerja tidak terikat pada batas-batas geografis, tidak terbatas pada konsepsi kontras desa-kota, tidak terbatas pada relasi Pusat dan Pinggiran, tidak seperti urbanisasi yang kita kenal pada umumnya. Urbanisasi juga bekerja pada tataran ide, cara berpikir, dan lelaku tubuh atau cara berkehidupan. Realitas urban lahir dari rahim kehidupan modern. Sementara itu, “kehidupan modern” turut dibentuk oleh kuasa kolonial sebagai lanjutan dari imperialisme.
Realitas urban itu tak muncul dari ruang kosong. Realitas itu muncul dari hubungan sebab-akibat adanya provinsialisasi ganda yang bekerja di Pusat dan kuasa-kuasa kecil di Pinggiran. Dalam bukunya yang berjudul Provincializing Europe: Postcolonial Thought and Historical Difference (2000), Dipesh Chakrabarty menyebut provinsialisasi bekerja berdasarkan cara pandang Pinggiran melihat dirinya, yang merasa merupakan bagian dari Pusat. Sebab, Pinggiran dan Pusat terhubung oleh relasi provinsial, keduanya terikat sebagai kesatuan provinsi. Dalam buku itu, Chakrabarty menjelaskan situasi Eropa sebagai kasus. Kita bisa menggunakan penjelasan Chakrabarty soal provinsialisasi untuk melihat relasi kolonial di Jawa. Dalam konteks Jawa, Temanggung merasa dirinya merupakan bagian dari Mataram Islam. Namun, di sisi lain, Mataram Islam juga merasa dirinya merupakan bagian dari kolonialisme Belanda.
Urbanisasi di Temanggung memuncak pada paruh akhir abad 20, tepatnya pada 1970-an. Pada masa itu, urbanisasi dianggap selaras dengan prinsip ekonomi Orde Baru-nya Soeharto. Namun, dalam konteks ini, urbanisasi hanya diartikan sebagai migrasi penduduk. Urbanisasi kemudian tetap diartikan sebagai perpindahan dari desa ke kota, setidaknya begitu kata Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Alih-alih tenggelam dalam definisi tunggal itu, saya lebih sreg melihat urbanisasi sebagai keadaan, upaya, atau hasrat menjadi kota. Ia tidak terbatas pada tapal kota dan desa. Toh, siapa yang kita definisikan rural dan urban kini buram. Selain itu, urbanisasi bukan hanya soal ‘berperilaku kekotaan’, melainkan juga pemusatan dan penunggalan pengetahuan. Situasi itu turut menciptakan relasi ketergantungan Pinggiran terhadap Pusat. Untuk konteks Jawa, urbanisasi di paruh akhir abad 20 meneguhkan ketergantungan Temanggung terhadap Yogyakarta dan Surakarta sebagai Pusat.
Akar Ketergantungan
Secara historis, semua ini bermula sejak kekalahan berulang kuasa lokal Jawa; sejak tumbangnya serangan Sultan Agung ke Batavia pada 1628 dan 1629 hingga akhir dari Perang Jawa. Rangkaian peristiwa ini mengawali berubahnya lanskap pengetahuan soal Jawa.[3] Orang-orang Jawa yang semula hidup nomaden secara bertahap mulai hidup menetap. Bahasa Jawa yang semula sama rata pun secara bertahap menjadi bahasa yang bertingkat-tingkat (hierarkis).[4] Budaya yang semula tidak bersekat perlahan terpisah menjadi budaya tinggi dan budaya rendah.
Meski ada pembedaan antara budaya tinggi dan rendah, namun pada paruh awal abad 20 muncul hasrat merekonstruksi budaya Jawa. Hasrat ini berdampak pada bidang seni tradisional selain seni tari. Ini terbukti pada 1918. Di tahun itu, lingkaran ‘institusi budaya’ didirikan di Jawa guna menyebarluaskan dan mempromosikan tidak hanya seni Jawa, melainkan pula seni Eropa.[5] Lingkaran ini seolah mengemban tanggung jawab moral untuk membantu ‘memugar’ seni musik dan bahkan merambah ke seni pertunjukan lainnya.[6] Hasrat ini bermula ketika banyak bermunculan gagasan artistik pada paruh akhir abad 19, pelbagai bentuk kesenian rakyat (mass culture) dicomot oleh para seniman elit Jawa untuk dikembangkan dan ‘diperhalus serta diperbaiki’ agar menyerupai kesenian adiluhung (high culture). Bentuk-bentuk hasil pencomotan seni itu antara lain adalah seni tari topeng hingga batik.[7]
Tak berhenti di situ, sebagai rezim kebenaran atas budaya Jawa yang luhur, keraton dan para aparatus elitnya mengharuskan seni tari mendapat perhatian serius, terlebih ketika tari tidak menerapkan estetika seni tinggi (fine art). Pada paruh awal abad 20, di wilayah Vorstenlanden[8] marak terjadi aktivitas prostitusi yang bersembunyi dalam selimut kesenian, terutama tayuban dan taledhek/ledhek. Aktivitas prostitusi berselimut kesenian ini tentu ditentang keras oleh kalangan elit intelektual keraton (setidaknya dalam periode itu) karena bertentangan dengan spirit pengadiluhungan status kesenian Jawa.[9]
Pada masa-masa itu, baik para intelektual Jawa tercerahkan maupun intelektual kolonial di Java Instituut menginginkan kesenian musik dan tari yang mulanya terbatas di dalam benteng keraton untuk dikenalkan ke luar benteng. Merespons hal itu, Keraton Yogyakarta melalui seniman-senimannya menggagas sebuah institusi pendidikan tari formal keraton bernama Krida Beksa Wirama. Namun, seorang elit intelektual lainnya bernama Jayadipura turut membangun institusi mandiri bernama Hermani dan Mardigoena.[10] Keduanya pun juga berfokus pada studi musik dan seni tari tradisional Jawa.
Melalui Krida Beksa Wirama, Hermani, dan Mardigoena, kesenian rakyat dari Jawa bagian tengah hingga bagian timur diinkubasi. Selama masa inkubasi, kesenian rakyat dipermak mengikuti pakem-pakem ala keraton sekaligus mengalami modernisasi ala Barat. Hasil dari inkubasi ini kemudian dibekukan sejak 1922 melalui terbitan tahunan Java Instituut berjudul Djawa. Melalui terbitan tahunan Java Instituut inilah kesenian Jawa disesuaikan agar mengikuti petunjuk teknis kelindan intelektual Jawa dan Eropa.
Melalui institusi yang bergerak di bawah naungan pemerintah kolonial dan keraton, kolonialisme membangun pengetahuan dengan memusatkan dirinya sebagai sumber kebenaran tunggal. Kita lebih tinggi dan kita harus memberadabkan mereka. Begitulah kira-kira inti pengetahuan kolonial yang jadi kebenaran tunggal itu. Namun, di sisi lain, pengetahuan itu juga hendak meninggikan kesenian mereka yang dianggapnya rendah dengan cara memperkenalkan kesenian kami, seni tinggi ala keraton. Gayatri Chakravorty Spivak melihat fenomena ini sebagai catachresis; “Membalikkan, menggusur, dan merebut aparatus pengkodean nilai”.[11]
Dewasa ini, pertanyaan apa itu kebenaran? barangkali sudah terdengar usang. Pertanyaan yang lebih relevan adalah: bagaimana kebenaran dinarasikan? Kebenaran akan selalu membuntuti keinginan si empunya kuasa. Dalam konteks Temanggung, kebenaran seni-budaya atas Temanggung dirumuskan di pusat pengetahuan Jawa, yakni Yogyakarta dan Surakarta. Praktik ini berlanjut hingga kini melalui agen kontrol bernama Institut Seni Indonesia (ISI). Seperti maunya keraton, kebenaran seni-budaya di Temanggung pun dinarasikan tunggal melalui aparatus institusional. Barang siapa yang tidak patuh akan dicap melangkahi pakem.
Di bawah kebenaran tunggal itu, bekerja sebuah relasi kuasa yang membuat Jawa Pinggiran merasa perlu untuk menjadi seperti Jawa Pusat. Kuasa rezim kebenaran ini merasuk pada diri orang-orang Pinggiran melalui ritus sosial dan lembaga pendidikan. Kondisi ini semakin menggiring mereka dalam jurang kebenaran tunggal bernama Jawa yang Terpusat. Laiknya sebuah mandala, pusat-pusat itu terbagi pada simpul-simpul pusat kecil yang berdiri teguh di pinggiran pusat utama kekuasaan.
Simpul-simpul pusat kecil inilah yang bekerja sebagai agen kontrol dari pusat kekuasaan. Mereka menciptakan kebenaran tunggal berupa pengetahuan artistik yang diproduksi dan diinkubasi dalam pusat-pusat lembaga pendidikan seni di pusat kekuasaan. Kodifikasi nilai-nilai ‘kebenaran’ inilah yang berkembang dan mengendap dalam pikiran intelektual muda di Jawa Pinggiran seperti Temanggung. Gambaran mengenai Mataram Islam (Jawa Pusat) sebagai kekuatan, peradaban, maju, kaya, dan adiluhung menjadi pendirian yang kokoh. Bahkan hingga kini, ujaran “lebih baik belajar di Yogyakarta-Surakarta” masih diamini oleh para pelaku seni di Temanggung.
Dalam suatu kesempatan, saya pernah berbincang dengan para pelaku seni jaranan di Temanggung. Mereka bercerita bahwa banyak sanggar jaranan kondang menggunakan narasi-narasi besar yang dibungkus dalam koreografi sendratari gaya Surakarta. Narasi-narasi besar itu berupa tari Bedhaya Ketawang dan tari-tarian lain yang mengisahkan Sultan Agung, Nyi Roro Kidul, Raden Patah, hingga Ratu Kalinyamat.
Sanggar yang menggunakan narasi-narasi besar itu sebagai dasar koreografi jaranan akan dicap sebagai sanggar yang berhasil. Mereka akan sering diundang dalam hajatan-hajatan warga. Sementara itu, sanggar-sanggar kecil yang menggunakan narasi lokal jarang sekali diundang untuk tampil. Sekalipun sanggar itu tampil, mereka harus membawakan narasi besar seperti tari Bedhaya. Untuk itu, mereka biasanya mengundang pelaku seni Temanggung lulusan ISI Surakarta. Sebab, menurut keterangan beberapa orang, para pelaku seni lulusan ISI Surakarta itu dapat membuat pertunjukan yang apik, imersif, dan canggih.
Fenomena semacam itu dapat dilihat menggunakan kacamata Kuan Hsing Chen dalam melihat realitas sosial Taiwan. Masih dalam asia as Method, Kuan Hsing Chen menganalogikan ketergantungan anak muda Taiwan terhadap lembaga-lembaga pengetahuan di Amerika sebagai “Leaving Asia for America”. Ternyata lain ladang sama belalang. Fenomena yang dialami oleh para pelaku seni jaranan di Temanggung menunjukkan bahwa mereka lebih berhasrat belajar dari lembaga-lembaga kesenian di Yogyakarta-Surakarta ketimbang belajar dari khazanah pengetahuan lokal mereka sendiri. Situasi ini memposisikan para pelaku seni Temanggung sebagai kawulanya para pujangga Mataram. Dan mereka adalah kawula yang patuh sungguh.
Kepatuhan yang menubuh itu memunculkan realitas biopolitik: Mataram menggeser nilai kebenaran lokal Temanggung dan menggantinya dengan kebenaran tunggal Mataram. Dalam konteks ini, pihak yang diuntungkan sebenarnya adalah ISI Yogyakarta-Surakarta, bukan pelaku kesenian Temanggung. ISI sebagai aparatus kekuasaannya Mataram sangat diuntungkan oleh politik dekolonisasi pengetahuan di Indonesia pasca kemerdekaan. Kurikulum kesenian di ISI mengajarkan pengetahuan seni prakolonialisme Eropa yang merujuk pada seni adiluhung Jawa-Mataram. Seni adiluhung Jawa-Mataram dianggap sebagai estetika prakolonial yang sah untuk menjadi ujung tombak dekolonisasi. Padahal, pada kenyataannya, seni Jawa-Mataram yang adiluhung itu juga menjajah khazanah kesenian lokal di Temanggung. Berdasarkan kenyataan inilah kita mestinya sepakat bahwa ajaran dekolonisasinya ISI gagal total. Mereka sama kolonialnya seperti tuan-tuan Eropa dan gusti-gusti Jawa-Mataram!
Pelaku kesenian di Temanggung mungkin saja tak merasa terjajah. Memang tak ada pihak yang memaksa mereka mementaskan narasi-narasi besar dari Yogyakarta dan Surakarta. Tak ada pula pihak yang menodong mereka untuk selalu menampilkan seni adiluhung Jawa-Mataram. Mereka bisa saja melakukan semua itu dengan niat baik pelestarian. Tetapi, kuasa kolonial yang sedari tadi saya bicarakan kehadirannya samar-samar belaka, ia seperti hantu yang diam-diam merasuki alam pikir dan gerak tubuh pelaku kesenian Temanggung. Hantu itu bisa berupa pakem dan selera estetika Jawa Pusat, yang membuat orang-orang Temanggung sebagai Jawa Pinggiran tak leluasa menampilkan khazanah pengetahuan lokal mereka sendiri. Sebab, kawula harus tunduk pada kendali tuannya. Tidakkah ini semacam belenggu? Kenapa pula kesenian di Jawa Pinggiran harus selalu menjadi abdinya kesenian Jawa Pusat? Tidakkah Temanggung dan Yogyakarta-Surakarta punya realitas serta langgam peradaban yang berbeda? Kenapa Temanggung harus senantiasa manunggal dalam imaji Jawa-Mataram ala Yogyakarta-Surakarta?
Sebenarnya, orang-orang Temanggung sanggup memerdekakan dirinya sendiri dari belenggu kolonial. Sepanjang pengalaman saya di Temanggung, saya melihat mereka punya cukup modal lokal untuk merancang metode pembebasannya sendiri. Kalau Kuan Hsing Chen bisa merumuskan Asia sebagai metode, maka mereka dapat merumuskan Temanggung sebagai metode.
Temanggung sebagai Metode
Sebagai sebuah cara berpikir, sebagai metode, kuasa Mataram telah menjadi situasi dominan dalam produksi pengetahuan di Temanggung. Situasi dominan itu tergambarkan dalam bagaimana Temanggung melihat dirinya sebagai subjek yang rendah, desa, dan tertinggal. Di samping itu, dunia persilatan dewasa ini lebih memilih membicarakan Timur versus Barat ketimbang melihat kondisi terdekat bagaimana kolonialisme internal dan neokolonialisme bekerja.
Seorang pemikir Filipina bernama Zeus Salazar pernah merumuskan suatu ramuan jitu berjuluk pantayong pananaw, yang berarti perspektif dari kita untuk kita. Mungkin ini adalah jalan cepat melihat Temanggung sebagai metode, ketimbang menggunakan kacamata berlensa Barat untuk melihat dan membaca Timur, atau menggunakan kacamata Mataram untuk melihat dan membaca Temanggung. Jika menggunakan pantayong pananaw sebagai kacamata, Temanggung dapat melihat dan membaca dirinya dengan lensa mereka sendiri.
Pantayong pananaw sebetulnya tidak hendak mencari keaslian identitas. Toh Temanggung yang asli tetaplah tidak benar-benar asli, selalu ada kontaminasi pengaruh lain sepanjang sejarahnya. Dalam sebuah simulasi, idealnya Temanggung tetap melihat dan membaca dirinya melalui dua lensa kacamata: sejarah Temanggung pada masa lalu (prakolonialisme eksternal-internal) dan situasi Temanggung kini-di sini (yang berada dalam [12]). Simulasi ini tidak menjebak Temanggung dalam glorifikasi masa lalu dan masa kini dengan kuasa yang berlapis.
Temanggung sebagai metode setidaknya bisa melakukan dekolonisasi berlapis, baik terhadap rezim kebenaran kolonial Eropa maupun kolonialisme Mataram. Untuk itu, Temanggung harus menghubungkan ulang dirinya dengan pengetahuan prakolonial Eropa-Mataram, melacak ulang bagaimana posisi mereka sebelum menjadi Jawa Pinggiran. Setelah itu, narasi-narasi prakolonial dapat digunakan sebagai kacamata untuk melihat realitas yang berlaku sekarang dan di sini.
Masalahnya, kendala terbesar dari korban hegemoni adalah mereka kadung patuh sungguh. Kepatuhan yang kadung menubuh pada konteks ini lahir dari perasaan insekyur yang sengaja dikondisikan oleh Mataram. Hari ini, kepatuhan yang menubuh itu punya gejala seperti stockholm syndrome, menganggap pelaku hegemoni sebagai patron yang harus dihormati. Seperti kata bijak bestari bernama Jose Carlos Mariátegui: “Memunculkan rasa inferior menjadi modal utama Barat dalam melakukan ekspansi (fisik & kultural) dan penaklukan.” Tentu dalam konteks Temanggung, Mataram menggunakan langkah yang sama dengan apa yang Barat lakukan.
Kali pertama saya menapaki Temanggung, hamparan tembakau mewarnai lanskapnya. Dari pinggiran jalan hingga dua badan Gunung Sumbing dan Sindoro terlihat hijau tembakau. Tembakau varietas Kemloko/Mloko tetap terhampar di tengah desakan varietas tembakau jawatimuran. Hamparan itu memang menggambarkan kondisi perdagangan tembakau di Temanggung, yang dihimpit dua kekuasaan besar perusahaan rokok Djarum dan Gudang Garam. Realita ini menempatkan petani tembakau pada posisi hidup enggan mati tak mau.
Sebagai contoh dalam mengimplementasikan Temanggung sebagai metode, saya bersama seorang kawan bernama Suden melakukan residensi di Temanggung. Dalam proses brainstorming, kami bertukar lintingan, tentunya dengan metode nongkrong. Waktu itu, seorang pemuda yang juga grader[13] di salah satu gudang tembakau Parakan mengeluh soal keadaan para petani. Keluhan yang sama juga terlontar dari kawan pemuda lain yang juga aktif dalam sanggar jaranan dusun.
Kawan saya yang seorang grader mendahului ceritanya tentang tiga pepunden (makam tokoh yang dituakan) yang ada di dusun tersebut. Konon, ketiganya adalah para ‘pendekar’. Tokoh pertama bernama Pangeran Suryakusuma yang kami asumsikan sebagai eksil Mataram; tokoh kedua bernama Singo Barong, secara penamaan kemungkinan besar tokoh ini hidup pada masa peralihan Hindu-Buddha dan Islam; dan tokoh ketiga bernama Kiai Yusup, tokoh ini diasumsikan adalah ulama yang memimpin rakyat setempat dalam Perang Jawa mengingat dusun ini berada di daerah Kedu, yang menjadi simpul perlawanan Pangeran Diponegoro. Kisah ini juga diamini oleh seorang petani tembakau, pelaku sanggar, serta kawan-kawan lain di dusun itu.
Cerita tadi berlanjut dengan keluhan soal murahnya harga jual tembakau di gudang serta di pabrik. Pada dasarnya, klasifikasi kualitas tembakau dibagi menjadi tiga, tegal, tegal mbanyon, dan sawahan. Tegal adalah ladang tembakau yang berada tepat di bawah hutan Perhutani, jelas ini merupakan dataran tinggi dengan asupan sinar matahari dan air hujan dalam proporsi yang pas untuk menghasilkan tembakau terbaik. Tegal mbanyon adalah ladang tembakau yang berada di antara tegal dan sawahan. Sawahan adalah ladang tembakau yang ditanam di dataran rendah, umumnya tambakau yang ditanam di sini menghasilkan kualitas paling jelek. Berawal dari klasifikasi ini, kawan-kawan dusun itu mengeluh bahwa pabrik punya standar mereka sendiri. Gudang dan pabrik berhak menentukan harga. Kalkulasi harga ini sangat tidak sesuai dengan modal dan keringat yang dikeluarkan petani. Kemuraman ini ditambah tak menentunya fenomena alam seperti hujan dan kemarau panjang. “Bahkan, kualitas tembakau tegal dihargai tak layak, apalagi tembakau sawahan,” begitu ujar salah seorang petani yang saya jumpai. Dusun itu berada di daerah dataran rendah, sudah pasti masuk kategori sawahan.
Dari cerita-cerita itu, kami semua sepakat untuk membuat narasi jaranan yang berkisah soal tembakau dan narasi perlawanan berbasis cerita rakyat. Kami berusaha melakukan klaim ulang serta menggugat narasi besar Mataram Islam. Dua kisah ini kami bagi menjadi dua pertunjukan jaranan, salah satunya berjudul Mbako Sawahan. Sayangnya, pertunjukan yang satunya lagi tidak sempat kami pentaskan. Di sini saya dan Suden menjadi rekan diskusi yang membantu mengurai kegelisahan kawan-kawan dusun tersebut.
Mbako Sawahan mengisahkan perlawanan petani dan pandawa lima. Pandawa lima di sini tentu bukanlah lima tokoh pandawa dalam epos Mahabarata, melainkan perlambangan sekaligus julukan lima bos besar gudang tembakau di Temanggung. Pementasan jaranan Mbako Sawahan ditampilkan dengan kostum petani biasa serta jaran kepangnya diganti dengan anyaman bambu yang menyerupai daun tembakau. Mbako Sawahan dipentaskan dalam pesta dusun menyambut malam tahun Baru 2023.
Dengan pertunjukan Mbako Sawahan, saya, Suden, dan kawan-kawan pemuda dusun ingin membuktikan bahwa pesta rakyat adalah pesta untuk mengolok-olok rasa insekyur, pahitnya hidup, serta pendapatan rendah yang berasal dari kapitalisme dan kuasa-kuasa besar dengan kelindan di baliknya. Meski dalam prosesnya tak mudah untuk keluar dari perasaan insekyur, keterbatasan alat musik, dan hidup di balik bayang-bayang kuasa neofeodal-kapitalisme-neokolonialisme, namun segala upaya kecil akan berdampak besar. Setidaknya, pertunjukan ini membuat warga dusun melihat sejarah dan pengetahuan lokal mereka sendiri sebagai orang Temanggung. Khazanah dusun dan suara keseharian mereka tak kalah berharga dibanding narasi-narasi besar dari Yogyakarta-Surakarta.
Dalam tawarannya, Temanggung sebagai metode tidak menolak total ikhtiar urbanisasi. Bagaimanapun juga, ikhtiar itu tak dapat dihindari. Sebagai batasan, selama tidak membuat sekelompok masyarakat mengalami ‘bunuh diri kultural’, maka ikhtiar demikian dapat dibaca sebagai usaha berdamai dengan urbanisasi itu sendiri.
_________________
Catatan:
[1] H. Kraemer. (1932). “Het Instituut voor de Javaansche Taal te Soerakarta”. Djawa. Vol. 12. No. 6. hlm. 272. dan (1921). Het Java Instituut. Berschermer Z. E. de Gouverneur Generaal van Nederlandsch- Indie. Artikel 4, point A, Djawa.
[2] Peter Carey. Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa (jilid 2). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2019.
[3] M.C. Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi, 2005. hlm 107
[4] Benedict Anderson. Language and Power. Ithaca: Cornell University Press, 1991. hlm 194
[5] Congres voor Javaansche Cultuur-Ontwikkeling 5-6 Juli 1918 te Soerakarta. Semarang: Stoomdrukkerij C. A. Misset. (060 JAV c 8414)
[6] Melalatoa, M. J.. Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia. Jilid L-Z. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan, 1995. hlm 934
[7] Warning, W. & Jaworski, M. The World of Indonesian Textiles. Tokyo: Kodansha International, 1981. hlm 183
[8] Vorstenlanden adalah istilah yang digunakan pemerintah kolonial untuk menyebut daerah Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, sekaligus Kadipaten Mangkunegaran dan Kadipaten Pakualaman. Secara literal, vorstenlanden berarti tanah-tanah pangeran.
[9] Sumarsam. Gamelan: Cultural Interaction and Musical Development in Central Java. Chicago: University of Chicago Press, 1995. hlm. 121
[10] (1939). Djawa: tijdschrift van het Java-Instituut. Vol 19. No. 3, 1 September 1939.
[11] Gayatri Chakravorty Spivak. Outside in the Teaching Machine. New York: Routledge, 2008. hlm 161
[12] Ruang Ketiga (Third Space) adalah buah pemikiran Homi K Bhabha, seorang pemikir poskolonial dari India. Konsep Third Space dibagi menjadi tiga: ruang pertama adalah ruang pengetahuan lokal (prakolonial); ruang kedua adalah kerangka berpikir kolonial/Barat; ruang ketiga merupakan ruang pengetahuan lokal sekaligus ruang pengetahuan kolonial, seperti orang Jawa yang menggunakan blangkon namun berpikir seperti orang Eropa.
[13] Grader tembakau adalah orang yang menilai atau menakar kualitas tembakau.
Editor: Ragil Cahya Maulana
[…] sebuah pertanyaan yang dilontarkan oleh Raymizard Alifian Firmansyah dalam tulisannya berjudul Temanggung sebagai Metode: Lapis-Lapis Kuasa di Jawa Pinggiran. Dalam tulisan ini, kerentanan diperlihatkan melalui pembacaan ulang atas sejarah Jawa yang […]