Seraung: Membaca Sungai Seni Samarinda Melalui “Pintu Belakang”

Kadang saya merasa, yang terdengar riuh-rendah dalam jagat kesenian dan kebudayaan di kampung halaman saya, Samarinda,  bukan lagi semata membicarakan proses kreatif, pengetahuan lokal, atau tradisi dan modernitas. Melainkan, pertanyaan-pertanyaan yang menyita waktu lebih banyak, tentang peristiwa mendalam terkait ekosistem kesenian-kebudayaan itu sendiri. 

Saya mengingat larik puisi Korrie Layun Rampan (seorang penyair Kaltim) “Jalan ini semakin sunyi, tapi kita tak sampai-sampai juga,” dengan bertanya-tanya mungkinkah puisi tersebut lahir dari masalah dan peristiwa kampung halaman si penyair? Tentang Samarinda dan seniman-senimannya yang belajar menjinakkan gelombang tawar itu: penulis yang sibuk dengan pengakuan diri sebagai seorang sastrawan dan penyair, pemusik termenung antara idealisme dan industri, pembuat film di antara pertarungan kualitas dan proyek ASTRADA (Asal Terang Gambar Ada), penari mencari jadwal pertunjukan dengan latihan sekali jadi, teater membuat pamflet untuk kaderisasi, dan perupa bertanya tentang warna apa yang pantas untuk menguas masa depan sebuah kota.

Sebagian menempuh perjalanan ke mana proposal akan sampai, bisakah kesenian dan kebudayaan menghidupi kami di kota yang kata mereka kaya ini. Sebagian lainnya merangkai cerita terbaik tentang sentimen antar-komunitas. Lantas, mungkinkah masalah itu membuat seni-budaya Samarinda akhirnya tak sampai-sampai juga? Sampai ke mana? Pertanyaan ini, mengantarkan saya mencari-cari jawaban itu melalui “pintu belakang.” Menengok sebuah sungai seni mengalir dari hulu ke hilir, bertemu riam batu, melewati nyiur-nyiur tumbang, sesekali ada yang melemparkan jalanya, dan berhenti sejenak di tengah kemacetan tongkang.

Seraung, Mana Telurmu?

Apa yang orang-orang luar pikirkan jika mendengar “Kalimantan Timur”? Mungkin, pohon-pohon rindang, rimbun hutan, dan sungai-sungai yang jernih. Tetapi, jika saya ubah pertanyaannya; apa yang orang-orang luar pikirkan tentang seni-budaya di Kalimantan Timur?  Boleh jadi, nama yang disebutkan adalah seorang seniman Kaltim yang pernah mereka temui di kancah festival nasional, koran-koran, media sosial, atau diaspora di luar pulau. Berbeda lagi jika pertanyaan di atas saya lempar ke seniman-seniman Kaltim sendiri, nama-nama asing semakin muncul. Bahkan, ada yang tak tahu sama sekali bahwa provinsi  ini, memiliki seniman-seniman dan komunitas seni yang sedang tumbuh. 

Alasannya? Saya tak tahu, mungkin saja kurang banyak media lokal, komunitas, atau kampus bergegas mengapresiasi kawan-kawan yang sedang tumbuh itu. Atau ia sudah besar di kancah luar pulau dan dianggap sebagai pengganggu apresiasi lingkaran sendiri. Atau memang jangan-jangan tak ada pentingnya untuk diketahui.

Dugaan saya, kondisi ini makin menguat semenjak ISBI (Institut Seni Borneo Indonesia), kampus yang digadang-gadang sebagai gerbang kebudayaan Kaltim itu sempat berhenti beroperasi  dalam beberapa dekade. Ditambah lagi, kampus-kampus dengan fakultas humaniora di Kaltim belum memberi ruang besar untuk memunculkan pengkaji-peneliti karya-karya para seniman itu. Peristiwa tersebut, menjadi perbincangan hangat di lingkaran-lingkaran kecil komunitas para pekerja seni yang memikirkannya. Namun menurut hemat saya, jika sekadar memikirkan, semua orang pun demikian.

Kemudian saya dapati sebagian individu dan kelompok yang tak sekadar memikirkannya. Mereka, “sebagian” yang belum saya sebutkan, bergerak.  Mereka ingin menantang Korrie dengan, “Kita akan sampai”, melemparkan jalanya meski dayung-dayung telah patah, meski dihadang kemacetan tongkang tiap waktu melewati Mahakam. Usaha itu adalah Seraung, sebuah hajat seni yang berlangsung pada akhir tahun lalu.

Forum atau saya katakan saja Pintu Belakang ini, menghadirkan sebanyak 40 komunitas seni dan ratusan khalayak umum, pelajar-mahasiswa, hingga pegiat lintas disiplin seni. Suatu hajat yang ambisius untuk merefleksikan dan memprediksi nasib kesenian-kebudayaan Kaltim di masa depan yang diselenggarakan persisnya pada, 29 Desember 2024 di UPTD Taman Budaya Kalimantan Timur. 

Kurang lebih pukul 17.00 saya datang, dan melihat sebuah taman yang dibenci sekaligus dicintai para seniman itu penuh dengan pameran lukisan, instalasi seni, arsip film, kriya, komik, dan pertunjukan lintas seni. Berniat untuk tak sekadar kontestasi, forum ini merangkai tiga panel yang mereka namakan Rembug Seni Lintas Disiplin dengan merangkul dan mengapresiasi seniman-seniman yang telah melalang buana di kancah nasional-internasional. 

Tentu, buku catatan kecil saya telah siap untuk sewaktu-waktu menangkap apa yang mereka bicarakan. Selama berkeliling masuk dari pintu ke pintu lingkaran, saya menemukan cerita romantisme seniman dengan masa lalunya, lalu lalang panitia tentang banner belum terpasang, tak adanya pameran medium “Sastra”, sampai kabar gembira tentang seniman yang tembus CPNS. Uniknya, 50 persen panitia barangkali  diisi teater pelajar lintas Sekolah di Samarinda . Juga, dinding-dinding gedung berdebu yang terbiasa jadi batas dan jarak ruang antarseniman itu, kini tersemat 30 lebih poster film dan lukisan yang mungkin tak sepenuhnya diketahui warga Samarinda, yang ternyata sebagian dibuat oleh pelajar pula. 

Selebihnya, saya bertemu dengan sebagian kelompok kecil di luar gedung, berdebat tentang isu Ibu Kota Nusantara, ekologi, dan overheat society yang berkaitan dengan seni-budaya di kampung halaman ini. Hal yang sangat tersorot di sini adalah kontestasi masalah-masalah kebudayaan yang itu-itu saja, event seni yang sporadis tak jelas arahnya, kesejahteraan seniman, minimnya pemberdayaan komunitas, termasuk, simbol-simbol budaya yang tak dirawat. Apapun masalahnya, saya selalu berharap agar tak mengenal pesut Mahakam sebagai mitos di masa depan.

Pameran Poster Film. Sumber: Dok. Panitia Seraung.

Kesenian Kampung Halaman Kami: Dari Relasi Kuasa, Responsivitas Budaya, hingga Politik Seni

Sebetulnya, saya diberi kesempatan untuk menjadi moderator dalam salah satu panel Seraung. Namun demikian, bukan Samarinda namanya jika tak ngaret. Kesempatan ngaret itu saya manfaatkan untuk masuk ke masing-masing panel. Pukul 17.00 sore tepatnya, dimulai rembug seni rupa & digital art. Meski kurang kondusif, Rembug pembuka ini tampak bertenaga. Selain membicarakan ruang eksplorasi seni rupa lintas disiplin, mereka menyinggung tentang pembangunan infrastruktur budaya Kalimantan Timur, yang selama ini lepas dari akar budaya masyarakat adat. Termasuk, para pemangku kebijakan yang selalu lupa melibatkan pelaku-pelaku seni dalam kerja-kerja wacana dan praktik kebudayaan itu . Perbincangan ditutup dengan komitmen yang gigih untuk menggelar pameran regular dan kolaboratif di tahun 2025. Mereka, akan berusaha semaksimal mungkin menginisiasi sebuah event pameran berstandar nasional yang mampu menjadi daya tarik seniman lintas wilayah dengan referensi yang kaya dari luar pulau, dan melibatkan masyarakat di dalamnya. Ide dan gagasan yang ditawarkan tentu menarik, apalagi di kampung kami, menggagas pameran persis dengan menanam benih di ladang tandus. Seingat saya, pameran terakhir adalah Art Day tahun 2018-an dengan gerakan ISBI Kaltim dan disusul komunitas lain. Kemudian di tahun ke tahun selanjutnya menjadi someday, kapan-kapan. Pelaku yang memiliki kesadaran besar terkait penyelenggaraan pameran itu patut kita beri apresiasi yang tinggi. Sayangnya, tak semua penikmat seni dan awam memikir hal yang sama. Tak ada yang menuliskannya, dan tak ada kesadaran untuk mengarsipkan secara lengkap serta memastikan keberlanjutannya. 

Pukul 20.00 adalah giliran saya untuk menggiring para pelaku seniman Teater, Tari, dan “Sastra”. Yang terakhir sengaja saya beri tanda kutip karena rasanya tertatih-tatih untuk diperbincangkan. Maka, rembug ini sebetulnya kerap mengulang-ulang perbincangan lama seperti tata kelola seni, terutama bagi teater yang merasa dari tahun ke tahun sangat sulit memunculkan generasi baru. Untungnya, permasalahan itu telah terjawab oleh salah satu narasumber Bhuyung Ardiansyah, yang menggagas Forum Teater Pelajar Samarinda. Kali ini, izinkan saya untuk menyebut nama sebagai wujud apresiasi, sebab puluhan tahun pengabdiannya terhadap seni tak diragukan lagi, di Samarinda ia terkenal dengan julukan “Sang Malam” salah satu seniman senior yang menghidupi dan hidup dari teater. Meskipun, secercah cahaya itu ditutup dan ditumpuk lagi dengan isu minimnya upgrading bagi pelaku teater. Terkhusus Samarinda, sebagian pelaku teater banyak merasa jauh tertinggal dalam eksplorasi panggung pengkaryaan dengan kota lain. Sementara, jalan menuju ketertinggalan itu, yang digadang-gadang medium penyelamatannya adalah komunitas dan forum-forum diskusi, justru, semakin sempit dan terhimpit oleh keterbatasan waktu para pelakunya. 

Kemudian Tari, perbincangan yang cukup kompleks dan sedikit filosofis. Misalnya, mencari cara mempertemukan tari tradisi dan kontemporer. Lebih-lebih tari kontemporer sepi peminat dibanding dengan tari tradisi yang selama ini cukup banyak ruang dari “festivalisasi” pemangku kebijakan. Singgungan ini pun makin menggiring saya memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang lebih kritis, bagaimana pelaku atau seniman tari menanggapi ISBI yang kembali beroperasi tahun-tahun ini dengan Jurusan Tari, dan FIB Unmul ikut memberanikan diri untuk membuka Jurusan Tari. Kedua jalur ini dapat dikatakan sebagai peluang atau justru tantangan?

Untuk bagian “Sastra”, sama sunyinya seperti proses kepengarangan itu sendiri. Saya pikir akan ada seseorang yang gagah berani bertanya perihal upaya pemetaan dan arsip sejarah sastra di Kalimantan Timur. Apakah tulisan-tulisan sastra di Kaltim lahir hanya berbicara tentang sungai dan batu? Siapa tokoh sastra di Kaltim yang harus dibaca hari ini? Sayangnya, keterbatasan waktu itu mengantarkan panitia membisik pada saya, “Mohon maaf sepertinya tak ada timbal balik pertanyaan, cukup pemaparan narasumber saja, kita akan lanjut ke Rembug Film dan Musik.”

Pukul 21.30 kurang-lebih, saat Rembug Teater, Tari, dan “Sastra” selesai. Boleh dikatakan, mereka para pendengar itu, berbondong-bondong lebih antusias  berkunjung ke rembug Film dan Musik. Saya tak tahu persis mengapa film lebih mudah menarik antusiasme anak-anak muda Kaltim tahun ini. Apa mungkin banyaknya prestasi yang berturut-turut selama beberapa tahun terakhir, atau gencarnya promosi ekonomi kreatif di Kalimantan Timur. Jika boleh sedikit beropini, kegigihan semangat kompetisi di antara komunitas-komunitas film di Samarinda membuatnya lebih terlihat menggairahkan. 

Bagaimana dengan arsip-arsip dan pemetaan? Informasi terakhir yang saya terima, mereka juga mengumpulkannya perlahan dan pasti. Mulai dari film buatan pelajar, sampai film yang siap berkompetisi di festival-festival. Berbeda dengan disiplin film, musik yang kadang terjebak antara idealisme dan industrialisasi, seperti mendapatkan jalan tengah. Singgungan paling menarik adalah ketika Samarinda digadang-gadang menjadi Kota Musik. Maka, perlu tentunya para musisi dilibatkan baik dalam penyusunan rencana-rencana strategis hingga pembangunan ekosistemnya (hampir sama dengan problem seni rupa).  

Tersebab, fasilitas pemerintah berupa studio dan recording musik, penyediaan peralatan film, bahkan dukungan finansial, dirasa belum maksimal, atau yang mendapatkannya hanya kalangan itu-itu saja, “Tak Dekat, Maka Tak Diajak”. Padahal, bagi disiplin film dan musik dalam rembug ini, mereka siaga berkolaborasi menjadikan budaya Kaltim sebagai sumber inspirasi dalam proses-proses pengkaryaan.

Sungai Seni Samarinda dalam Perbincangan Gawat Darurat 

Mari kita membayangkan, seandainya impian-impian yang diperbincangkan seniman-seniman itu berhasil terwujud. Infrastruktur pembangunan yang melibatkan para seniman, festival-festival hadir rutin dari semua disiplin seni, integrasi-interkoneksi lintas komunitas, buku-buku terbit meneliti perkembangan seni di Kaltim. Selebihnya, nama-nama baru terus bermunculan dari berbagai bidang seni. Maka, saya yakin, tak hanya membuat seni menjadi dekat dengan publik, tetapi, atmosfer seni dan budaya itu juga bisa hidup untuk mengantarkan masyarakat kota ini melihat lebih nyata ruang hidup manusia seutuhnya. Atau, setidaknya seni di kota ini, telah menyentuh dan ikut berdebat tentang isu-isu yang berat, sebut saja upaya dekolonisasi, misalkan.. Maka, Samarinda bisa saja menjadi ruang inklusif bagi kesenian itu sendiri dan peka pada sejarah kampung halaman ini yang selalu minim diteliti dan dikaji. 

Namun, sepertinya kita perlu menunda khayalan romantisme tersebut. Sebab, ada satu pertanyaan dari panitia yang memantik hal lain, “Sekian banyak rembug seharian kita hari ini, kesimpulannya mengapa hanya fokus membahas masalah komunitas dan individu saja ya, semacam permasalahan yang belum tuntas dari diri kita”.

Rupa-rupanya pernyataan itu sangat menyentak para pelaku seni yang duduk melingkar pada pukul 01.00 petang malam itu, meski tak jelas apa tujuan “rembug ”  ini dibuat dalam rangkaian acara terakhir. Maka, saya namakan saja sebagai rembug penyimpulan atau evaluasi. Banyak yang mengacungkan tangan dan membantah. Seketika salah satu pelaku seni rupa mengatakan, “Ke mana saja tadi kalian yang lain selama rembug kami? Kenapa kalian memilih duduk di luar, sementara komitmen kita adalah interdisiplin dan kolaborasi seni.” Begitupun seni Tari. Muncul ujaran “Coba kalian tengok dari lingkaran ini, mana anak tari yang bertahan duduk sampai sekarang, selain aku?”

Semua kegelisahan itu tumpah, termasuk kritik terhadap seni yang terbiasa hanya sampai pada pesan WhatsApp, kini diutarakan langsung secara tajam untuk mengomentari sajian para seniman pada acara Seraung hari itu. Memang, pernyataan tersebut sebetulnya ikut menyentak saya, sebab  tak semua seniman Kaltim secara keseluruhan ikut hadir dalam Seraung, apalagi mengikuti rangkaian acara hingga Rembug terakhir, dan begitu pula peneliti dan pengkaji dari kampus. Padahal, dalam laporan pertanggungjawaban panitia Seraung, mereka telah mengundang seluruh  praktisi, akademisi, bahkan pemangku kebijakan bidang Seni dan Budaya di Kalimantan Timur. Ke mana perginya mereka? Mungkin, ke “pintu depan.”

Terkhusus “Sastra” yang tak marak dibicarakan malam ini, yang gawat darurat adalah kurasi-kurasi perlombaan “sastra” tingkat lokal di kampung kami, tergolong masih mentah dan tanpa akuntabilitas kurator. Padahal, sudah ada yang mencoba mengarsipkan karya-karya tulis anak muda Kaltim mutakhir ini, dan sebagian lainnya mewakili Kaltim ke festival terbesar di Indonesia timur. Belum lagi, lingkar-lingkar komunitas bertanding melapak buku di sudut-sudut kota. Akan tetapi, mengapa nama-nama yang berkeringat itu, selalu tak disebut dan belum dilibatkan dalam kerja-kerja kesusastraan di Samarinda?

Sayangnya, kegelisahan itu tak tersampaikan, lebih-lebih  dalam Rembug Sastra yang berjalan sebelumnya. Padahal, rembug terakhir ini  menjadi catatan intervensi bagi panitia untuk merencanakan program-program seni-budaya di tahun 2025 mendatang di Samarinda. Tetapi, setelah saya pikir, jangan-jangan begitulah  wajah kesenian-kebudayaan di kampung halaman kami, masalah-masalah internal yang belum tuntas dan ditinggalkan pulang.

Di sela-sela itu, seorang panitia yang sama sebelumnya membisik pada saya, berdiri dan berseru lantang; ”Kawan-kawan waktu telah menunjukkan pukul 02.00, kita sangat tak enak dengan pengurus Taman Budaya. Apapun itu, bukti kekompakkan dan kolaborasi kita terlihat ketika forum ini saya tutup sekarang, dan kawan-kawan ikut bekerja membantu membersihkan gedung ini”.

Tiga bulan berlalu, kabar-kabar tentang Seraung yang menggambarkan suatu refleksi dan narasi-narasi tentang mimpi para seniman Samarinda itu, terbit di berbagai macam surat kabar di Kalimantan Timur seperti Kaltim Post, IKN Post, dan Nomor Satu Kaltim. Mereka saling menunggu satu sama lain dengan bertanya, siapa yang akan menjadi penggagas forum Seraung di akhir tahun 2025 nanti, seseorang yang berkeringat dengan gigih mengatakan ”kita akan sampai”. Atau, komunitas mana yang konsisten berhasil menelurkan nama-nama baru yang siaga bersaing dengan kota lain. Siapa?

Demikianlah, dari tulisan ini saya paham akan dicap sebagai anak durhaka dan pengorek luka lama. Bagaimana tidak? Menurut saya pribadi, forum ini seperti menengok perbincangan yang belum sampai “sebetulnya”. Maka, tulisan ini sama sekali tak saya niatkan secara ambisius mengatakan apakah gerakan forum Seraung berhasil atau tidak. Sebagai penutup, mari kita bayangkan bila barangkali lahirnya puisi Korrie di atas, adalah benar tentang situasi seni-budaya di kampung halaman si penyair. Berarti, penting untuk kita refleksikan bait-bait selanjutnya; 

Angin dari relung itu 

Semakin runcing 

Dan menciptakan garis ungu 

 

Haruskah ke arah lain jalan pantai 

kita kawinkan sepi 

antara dua badai?

 

Selamat lebaran 

Pertunjukan seni tradisi. Sumber: Dok. Panitia Seraung.

 

 

Editor: Margareth Ratih Fernandez

 

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Kalender Postingan

Selasa, Mei 20th