Menyisir Pesisir, Menebak Ombak

Pemandangan laut dan kota yang dilihat dari bukit Giri. Sumber: Dok. Gata Mahardika
Pemandangan laut dan kota yang dilihat dari bukit Giri. Sumber: Dok. Gata Mahardika

“Tuku lemah bonuse laut”

“Membeli lahan (untuk pabrik), dapat bonus laut.” Ini adalah anekdot yang sering saya dengar beberapa tahun lalu ketika nongkrong  di warkop di Gresik. Waktu itu sedang gencar proses pembebasan lahan yang umumnya berupa tambak untuk dialihfungsikan menjadi pelabuhan industri, JIIPE (Java Integrated International Port Estate), sebuah megaproyek kawasan industri terpadu pertama di Indonesia yang memiliki berbagai infrastruktur pendukung industri. Desas-desus mengenai proyek ini telah terjadi jauh sebelum pemberitaan resmi dari pemerintah. Makelar tanah, juragan urugan tanah reklamasi, penyedia tenaga kerja sudah bergerilya di area pesisir, dan pergerakan ini semakin gencar sejak negosiasi perpanjangan kontrak PT Freeport. Mantan presiden Jokowi memberi syarat bahwa mereka harus membangun industri smelter sehingga kita tidak hanya mengekspor barang mentah, dan Gresik menjadi kandidat terkuat untuk dipilih sebagai lokasinya. Dalam waktu singkat, harga-harga tanah meningkat drastis dan muncul desas-desus pembangunan mall, hotel, dan perumahan elit di area tersebut.

Dari mana saya mendapatkan semua informasi tersebut? Bukan koran, bukan jurnal akademis, tapi dari warung kopi yang menjadi “kantor” segala jenis makelar barang dan jasa pendukung industri. Tak perlu menyiapkan daftar pertanyaan ataupun mencari narasumber, cukuplah datang, pesan kopi, dan pasang telinga baik-baik untuk mencuri dengar dari pengunjung-pengunjung yang lain. Suatu ketika saya mampir ke sebuah warung kopi sepulang dari acara resmi. Pakaian saya cukup rapi, seorang makelar menghampiri saya dan menawarkan batu bara kualitas curah sejumlah sepuluh ton. Saya tolak dengan sopan karena dapur saya menggunakan LPG, bukan batu bara.

Banyak hal ajaib yang terjadi di warung kopi di Gresik, tapi cerita itu untuk lain kali saja.

Dari foto udara Gresik sekarang, kita bisa melihat bahwa hampir seluruh area pesisir di daerah ibukota Kabupaten Gresik adalah pelabuhan industri. Artinya, warga yang tidak punya irisan dengan dunia industri, bisa jadi tidak pernah melihat laut, walaupun rumahnya hanya berjarak beberapa kilometer dari garis pantai, termasuk saya sendiri. Saya ingat dulu saya sering bersepeda ke pelabuhan, di sana banyak orang yang memancing atau sekadar duduk-duduk menghabiskan waktu, banyak juga orang yang mengantre untuk menyeberang ke Bangkalan, tapi sejak berdirinya jembatan suramadu rute ini berhenti beroperasi dan orang-orang perlahan melupakan keberadaan pelabuhan. Suatu ketika saya iseng bersepeda lagi ke pelabuhan sekadar untuk mengenang memori, setibanya di sana saya berkeliling dan mengambil beberapa foto. Tidak lama kemudian, dua orang petugas menghampiri saya, menjelaskan bahwa pelabuhan tersebut telah menjadi area terbatas, saya tidak diperkenankan mengambil foto dan diminta meninggalkan tempat.

“…Sebuah pelabuhan besar yang terbaik di selauruh Jawa di mana orang-orang Gujarat, Calicut, Bengal, Siam, Cina, dan Liu-Kiu dulunya berlayar dan mendarat.”

Pelabuhan Gresik telah diakui sebagai pelabuhan yang sangat bagus seperti yang dituliskan oleh Tome Pires di tahun 1513. Pelabuhan itu berada di perairan selat, arusnya tenang tapi airnya dalam sehingga kapal-kapal besar bisa bersandar. Selain itu, letak geografisnya sangat strategis untuk menghubungkan pulau Jawa dengan wilayah Indonesia timur, sehingga tidak mengherankan jika pemerintah Indonesia telah mendesain Gresik sebagai pelabuhan industri, bahkan sejak pemerintahan Sukarno. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Gresik, banyak kota-kota besar di dunia yang semula adalah pelabuhan bersejarah kini berubah menjadi pelabuhan industri. Lantaran tidak mudah untuk menemukan perairan yang cocok untuk dijadikan pelabuhan, pelabuhan-pelabuhan kuno seperti Tokyo, Mumbai, Baltimore, Liverpool, Shanghai, dan Rotterdam harus meninggalkan kenangannya untuk menghadapi tantangan global dengan menjadi kota industri. Beberapa kota tersebut memiliki upaya untuk menyediakan sedikit area pantai yang bisa diakses publik, sehingga masyarakat masih memiliki ikatan dengan laut. Sayangnya yang terjadi di Gresik berbeda.

Saya pernah menyusuri pesisir Gresik mulai dari ujung selatan berjalan ke utara, saya berpikir seharusnya ada jalan-jalan setapak yang bisa saya lewati untuk menemukan laut. Ada tiga titik tempat untuk orang yang tidak berkepentingan bisa melihat laut, dan semuanya terasa begitu kecil karena di kanan kiri, bahkan di sisi depannya terlihat crane-crane dan berbagai alat berat yang berukuran raksasa. Tidak ada sejauh mata memandang di sini, apalagi nyiur melambai. Saya berkenalan dengan seorang nelayan, Cak Barok namanya. Ia dari lahir nelayan, begitu pula bapaknya, dan juga bapak dari bapaknya, namun sekarang ia sudah tidak terlalu sering mencari ikan, ia lebih sering menjajakan jasa antar jemput orang dan logistik ke kapal-kapal besar yang tidak bersandar, taksi laut istilahnya. “Iwak saiki wis gak koyok biyen!” (ikan sekarang sudah tidak seperti dulu) katanya.

Dermaga polair dan PT Pelindo. Sumber: Dok. Gata Mahardika

Cak Barok mengantarkan saya berkeliling dengan kapalnya sehingga saya bisa melihat rupa pesisir yang selama ini tidak saya tahu. Dari perjalanan itu saya baru menyadari betapa besar perputaran uang yang ada di pelabuhan industri, kapal kargo, kapal pesiar, dan kapal tongkang yang berukuran raksasa. Muatan peti kemas, batu bara, sawit, kayu log, semua itu untuk memenuhi kebutuhan manusia yang banyak sekali jumlahnya. Perjalanan ini memberi perspektif baru pada saya, tentu saja pemerintah lebih memilih pelabuhan industri daripada area tangkapan ikan, atau sekadar monumen sejarah kejayaan maritim di masa lalu. Sangat logis. Pendapatan daerah yang besar, Upah Minimum Kabupaten yang tinggi, penyerapan tenaga kerja dalam jumlah besar, bahkan pelaku sektor informal pendukungnya pun mendapat potongan kue, sekolah dan rumah sakit gratis, lantas saya mengeluh karena tidak bisa melihat laut?

Saya sampai pada sebuah ambivalensi. Pelabuhan industri memang membawa kesejahteraan finansial bagi masyarakatnya, tapi apakah manusia bisa terlepas dari konteks ruang hidupnya? Bahkan generasi muda sekarang banyak yang tidak menyadari kalau Gresik memiliki laut.

Barangkali Gresik adalah sebuah heterotopia. Apabila membicarakan perputaran uang, kita akan mengingat Jakarta atau Surabaya, bukan kota industri penyokongnya. Ketika berbicara tentang kebudayaan maritim, kita cenderung menjadi romantis, membicarakan Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, sejarah jalur rempah, teknologi perkapalan, musik, tarian, ataupun motif batik yang terinspirasi dari laut, kita tidak membicarakan kebudayaan pesisir industri. Kita tidak membicarakan buruh pabrik yang terbagi menjadi tiga shift karena mesin pabrik tidak boleh mati, taksi laut, penyelam pengumpul besi tua, abrasi akibat reklamasi, boga bahari yang mengandung logam berat, juga sopir truk dan jalur pantura.

Posisi pelabuhan industri yang secara geografis memotong ruang hidup manusia dengan laut juga menjadi penghubung, atau justru filter antara manusia dan laut dalam kebudayaan kontemporer. Kita tidak lagi terinspirasi dari laut secara langsung, melainkan dari kegiatan industrinya sehingga lahirlah kebudayaan baru seperti budaya warung kopi yang buka selama 24 jam dan juga yang tidak boleh dilupakan adalah dangdut koplo yang tumbuh subur di sepanjang jalur pantura. Pelabuhan industri memotong hubungan masyarakat dengan ruang hidupnya, membentuk sistem ruang hidup yang baru, dan memaksa kita untuk mengamini kebudayaan dan pengetahuan yang baru itu.

Tradisi sudah tidak lagi relevan, bahkan mungkin beberapa tahun lagi sudah tidak ada orang yang mengingat tradisi kelautan di sini. Untuk apalah itu cultural heritage? Apakah masih penting untuk menjaga dan merawat identitas kebudayaan? Apakah itu bisa menghindarkan kita dari menjadi manusia modern yang terlalu pragmatis, sistematis, dan mati rasa? Sepertinya pertanyaan ini harus dijawab dalam tulisan yang lain. (Editor: Margareth Ratih Fernandez)

 

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Kalender Postingan

Kamis, Februari 13th