Mempertanyakan Festivalisasi Kebudayaan

Salah satu titik penting dalam pergerakan atau geliat pemajuan kebudayaan adalah  terciptanya Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan Nomor 5 Tahun 2017. Melalui undang-undang ini, kebudayaan dipertimbangkan sebagai suatu aspek penting dalam menggerakkan geliat pembangunan juga menjadi referensi pada praktik kebijakan.

Andi Sumar Karman, dalam tulisannya “Masalah Pemajuan Kebudayaan” di Kompas, mengidentifikasi bahwa ada tiga masalah pokok ketika mengoptimalkan undang-undang pemajuan kebudayaan sebagai suatu cara atau potensi dalam pengembangan manusia atau ekonomi, di antaranya, tidak semua pemerintah daerah saat ini memiliki PPKD (Pokok-Pokok Pikiran Kebudayaan). Kedua, politik anggaran pemerintah daerah tidak selalu berpihak pada semangat pemajuan kebudayaan. Ketiga, sulitnya akses masyarakat terhadap dana abadi kebudayaan.

Penyerapan dana abadi kebudayaan yaitu Dana Indonesiana merupakan suatu upaya untuk mendistribusikan, juga membuka ruang keterlibatan para pegiat kebudayaan dan seniman yang selama ini berusaha menciptakan ruang dan pemajuan kebudayaan. Beberapa kelompok dan seniman di daerah, menerjemahkan bentuk-bentuk program dari eksplorasi kebudayaan dengan mengadakan festival. Festival seni budaya bukan hanya wadah bagi seniman dan budayawan untuk berekspresi. Di balik itu ada ikhtiar untuk mengajak masyarakat dekat dan menghargai budaya, mendalami ruang hidup, sejarah,  identitas, bahkan masalah. 

Herbert Marcuse, seorang filsuf dan sosialis dari Frankfurt School, memiliki pandangan yang kompleks mengenai wacana kebudayaan dan medan kesenian dalam konteks masyarakat modern. Dalam karyanya, ia sering mengkritik budaya kapitalis yang dianggapnya mengekang kreativitas dan kebebasan individu. Marcuse berargumen bahwa aktivitas kesenian bisa menjadi ruang bagi ekspresi diri yang otentik dan pembebasan dari norma-norma sosial yang mengekang.

Tulisan ini berangkat dari pengalaman penulis saat mengalami, terlibat, juga menyaksikan berbagai pagelaran Festival, dengan label pemajuan, dan peningkatan kebudayaan. Tulisan ini ingin merefleksikan bagaimana orientasi dan kerangka program festival, justru mengaburkan isu, dan terjebak pada perayaan seremonial dan euforia semata. 

Riuh Ramai Festivalisasi Budaya

Festival memang memiliki berbagai kategori juga pendekatan yang berbeda. Festival sebagai ruang untuk mengenal, atau membuka kemungkinan pertemuan, dan pertukaran budaya. Itu konsep idealnya yang dibicarakan ketika membicarakan bentuk festival. Tetapi soal bentuk, paradigma, rancangan, atau bagaimana festival dioptimalkan tentu berbeda di setiap daerah dengan ekosistem kesenian yang beragam.

Festival menjadi ruang ekspresi kebudayaan, di mana sajian karya, adalah wujud dari representasi terhadap, culture, atau konteks sosial setempat. Tetapi, permasalahan representasi dengan mengangkat identitas, sejarah, juga nilai, terjebak pada dilema seberapa mampu dia memberi gambaran yang kuat dan komprehensif, atau justru menjadi bias karena mengaburkan keberagaman yang ada. Budaya hanya menjadi label, kesenian sekadar kerja proyek festival. 

Saya tinggal di sebuah kabupaten bernama Lembata di wilayah NTT, dengan ikon Ikan Paus dan cerita para nelayan yang gagah mengarungi lautan. Lantaran cerita ikan paus yang mendunia, dalam dua rezim pemerintahan terakhir dari tahun 1999-2024, libido terhadap pariwisata menjadi kuat. Kebudayaan dijadikan modal untuk memajukan pariwisata dengan orientasi pada peningkatan ekonomi. Terlebih sepuluh tahun terakhir, gembar-gembor pariwisata dengan program festival budaya marak diselenggarakan. “Negeri 1000 Festival” adalah julukan atau sindiran yang pernah dilontarkan untuk merespons berbagai pagelaran yang ada. Dari semua pagelaran, ada dua yang secara spesifik akan saya uraikan.

Pertama, Festival Tiga Gunung Lembata. Festival ini di-launching di Jakarta oleh Kementerian Pariwisata RI pada 8 Mei 2018. Festival ini diselenggarakan di suatu bukit yang kemudian diberi nama “Bukit Cinta Lembata”. Kenapa diberi nama bukit cinta? Tidak ada alasan historis di baliknya, penamaan itu hanya untuk kepentingan branding. Di situs resmi Pemerintah Kabupaten Lembata dalam tulisan berjudul “Berkisah Cinta Di Bukit Cinta Lembata”, hanya dituliskan: “Mengapa disebut Bukit Cinta. Sangat boleh jadi karena panorama alam di bukit yang dikelilingi sejumlah bukit lainnya itu, indah dan sejuk.” Hanya itu alasan yang digunakan.

Festival Tiga Gunung ingin mengeksplorasi tiga gunung di Lembata yaitu Gunung Ileape-Lewotolok, Ile Werung, dan Batutara sebagai modal baru dalam pariwisata. Berbagai kelompok seni dan sanggar dikumpulkan di Bukit Cinta dengan jarak sekitar 13 KM dari pusat kota. Masyarakat dimobilisasi untuk menari massal dengan target seribu lebih penari, juga aksi massa yang membentuk tulisan “Love”, yang kemudian dijadikan jualan untuk memeriahkan pagelaran ini. 

Pemerintah kemudian menggelontorkan dana sebesar 6 miliar, untuk pembangunan aneka wahana dan permainan di Bukit Cinta Lembata. Festival Tiga Gunung dibuat dengan begitu meriah. Seluruh desa dilibatkan, anak-anak sekolah, dan para pegiat kebudayaan, untuk menjadi ornamen dari pergelaran itu. Festival ini diselenggarakan sebanyak dua kali, setiap pejabat dan ASN mengenakan baju Festival Tiga Gunung, dengan parade kebudayaan yang dibuat megah dan meriah. Tetapi setelah berjalan dua kali, festival itu hanya menyisakan bangunan terbengkalai dan rumput yang meninggi menutupi wahana dan permainan di bukit cinta.

Launching Festival 3 Gunung (F3G) Lembata, di Gedung Sapta Pesona, Kementerian Pariwisata, Senin (7/5/2018). Sumber: Kompas.com

Kedua, Festival Lamaholot. Festival ini kemudian ditetapkan oleh Kemenparekraf sebagai salah satu event yang masuk dalam 110 Kalender Event Nasional. Atraksi, parade budaya, aksi menenun massal dan pameran ekonomi kreatif, menjadi sajian yang disuguhkan dengan meriah di Eks Lokasi Harnus (Hari Nusantara).

Kedua festival besar ini, memang membuka ruang ekspresi, tetapi justru mengaburkan bagaimana narasi dan representasi kebudayaan itu sendiri. Festival Lamaholot, berusaha  menawarkan potensi bagaimana rumpun suku Lamaholot yang berada di pulau Alor, Lembata, Solor, dan Flores Timur dengan keanekaragaman produk kebudayaan, menjadi kekuatan ekonomi. Logika ini menjadi acuan bagaimana ruang festival itu dirancang. Semua karya dipajang dengan orientasi akan laku terjual, tetapi mengaburkan bagaimana jejak epistemik historisitas masyarakat Lamaholot yang juga terhubung dengan pelayaran orang Makassar sejak tahun 1700 karena perdagangan teripang menuju Australia. Apa yang disebut Lamaholot juga juga punya sejarah panjang dengan gereja dan kolonial, serta bagaimana keberadaan raja-raja bentukan kolonial, juga perang saudara “paji dan demon” sebenarnya menjadi penting untuk diurai kembali. Festival Tiga Gunung menawarkan panorama dan keindahan lanskap Kabupaten Lembata, menjadikan bukit cinta sebagai ikon dan promotor pariwisata, namun berakhir menjadi wahana terbengkalai.

Penyelenggaraan festival ini memperkuat kontras bagaimana kebudayaan itu dipahami sebagai proyek atau nilai dan identitas. Ketika menggunakan term “Lamaholot”, dengan penghayatan dan penghormatan kepada tanah, justru festival itu mengabaikan realitas ancaman perampasan tanah di wilayah Lembata. Ketika ramai menjajarkan tenun, festival itu lupa mengingatkan bahwa sumber daya alam sebagai bahan menenun, bisa hilang ketika lahan masyarakat terancam oleh proyek strategi nasional. Panorama alam yang ditawarkan untuk mendorong pariwisata sebagai strategi peningkatan ekonomi warga, justru menjadi proyek terbengkalai, yang sejak awal, sudah cacat secara pengkerangkaan model festival. Akses jalan dan fasilitas umum yang dibangun pun semata untuk kepentingan pengembangan wisata Bukit Cinta yang ujung-ujungnya terbengkalai. Dari cara pemerintah menggunakan anggaran untuk festival ini, justru mempertegas ketimpangan pembangunan yang ada di Lembata. 

Tarian Sole Oha, pada perayaan Festival Tiga Gunung, 2019. Sumber: Merdeka.com

Festival akan membawa komunitasnya untuk mengkomunikasikan kelompoknya kepada kelompok lain dan mempunyai aturan tertentu dalam konteks kelompok tersebut. Setiap kelompok atau komunitas berupaya mengubah atau mengarah pada kehidupan sosial yang akan diekspresikan dalam relasi tertentu pada bentuk festival. Festival membagikan pengalaman pada kelompok masyarakat tertentu dengan beragam interpretasi pada pengalaman tersebut. Festival akan mempresentasikan sebuah segmen tertentu dalam kehidupan sehari hari, hal ini yang disebut dengan drama performance oleh Ganter Hanggayuh dalam tulisanya berjudul “Perhatian Tubuh Dalam Bingkai Festival”.

Dalam konteks drama performance,  festival memiliki makna simbolik yang mendalam dengan mengubah kenyataan menjadi sebuah kenyataan sementara. Festival ini memiliki dimensi waktu tertentu—hari ini untuk hari ini, hari ini untuk masa lalu, dan hari ini untuk masa depan—serta melibatkan inversi simbolik, penyandingan elemen-elemen yang berlawanan, konflik, transformasi, dan pembaruan. Festival menjadi ruang, untuk membicarakan, dan mempertanyakan segala hal tentang dimensi realitas yang beragam, tentang lapisan budaya, sosial, juga sejarah. Festival menjadi ruang, untuk menghubungkan generasi sekarang dengan masa lalu, menghubungkan masyarakat dengan konteks, ruang untuk mengoreksi apa yang disebut ikatan dan orientasi kolektif.

Kesempatan dan Jebakan

Beberapa tahun lalu, saya terlibat dalam sebuah event kesenian. Beberapa hari setelah pagelaran itu selesai, direktur festival memposting sebuah ungkapan pada cerita instagramnya. Dalam unggahan itu, dia menulis:

”Kayaknya positioning tetap jadi hal penting, di tengah segala riuh dan gebyar fasilitasi dan festivalisasi yang mengalir deras  dari berbagai arah. Mempertanyakan motif dan tujuan mungkin adalah salah satu cara mengecek posisi itu? Kita mau apa? Mau ke mana dan bagaimana? Mengapa ini penting dilakukan dan orang-orang di sekitar kita? Ketakutan terbesar saya salah satunya adalah kita bermental dan bertindak sebagaimana hal-hal yang sebelumnya dengan lantang kita tujukan kritik-kritik kita. Pram bilang: adilah sejak dalam pikiran!!”

Ungkapan itu dia unggah tahun lalu, kemudian muncul lagi tahun ini sebagai kenangan di panel cerita instagram. Tetapi, dengan caption tambahan. “The Past Attacks Me Brutally”. Konteks personal Pak Direktur ketika menulis unggahan itu tidak sama dengan keresahan saya. Tetapi, pertanyaan itu dan kegelisahan di baliknya juga menjadi dilema bagi saya ketika menyaksikan riuh dan ramainya pagelaran festival dengan semangat pemajuan kebudayaan. Posisi dia dengan saya berbeda. Saya, masih meraba-raba apa yang orang sebut sebagai medan kebudayaan, di mana kesenian dan kekuasaan selalu berada dalam tegangan sebagai lawan dan kawan. 

Kran pendanaan yang terbuka dengan nomenklatur “pemajuan” kebudayaan mengubah bentuk relasi dan orientasi pada ruang dan kesempatan bagi aktivitas kebudayaan. Peran negara berubah, bukan hanya menjadi pelindung, tetapi juga wajib untuk memajukannya. Seniman punya payung hukum serta perspektif dan paradigma terhadap kebudayaan, mempunyai corak yang berbeda. Kesenian didukung secara pendanaan dengan membuka kesempatan yang lebih luas, tidak lagi terpusat, dan dapat menjangkau semua wilayah.

Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan adalah suatu upaya progresif. Selain membuka kesempatan, undang-undang ini juga mengubah wajah kebudayaan dan kesenian sejak orde baru. Di masa orde baru, kebudayaan dipakai sebagai alat untuk menciptakan kepatuhan dan sikap submisif di dalam masyarakat. Kebudayaan digunakan untuk mengukuhkan posisi negara sebagai  sosok moral yang akan mengayomi masyarakat secara paternalistik. Kesenian yang sibuk dengan dirinya sendiri. 

Pembredelan karya, pelarangan aktivitas kesenian, serta represi terhadap seniman bukan hal yang mengejutkan di era orde baru. Chabib Duta Hapsoro, mengungkapkan bahwa seni-pertunjukkan tradisional di era orde baru hanya menjadi token identitas nasional dan terlepas dari fungsi emansipasi dan politisnya. Martin Suryajaya dalam tulisanya “Estetika Orde Baru”, menjelaskan bahwa kesenian di masa orde baru dalam konteks penciptaannya, jika kritis dan membicarakan politik, akan ditolak oleh negara. Perpaduan antara kapitalisme-negara pada masa orde baru mensyaratkan kestabilan kebudayaan nasional. Praktik kesenian yang dibutuhkan orde baru—meminjam ungkapan Martin Suryajaya–adalah kesenian tidak mencampuri urusan politik. 

Seni memiliki dimensi yang misterius, bagaimana suatu aktivitas mengupayakan keindahan adalah lawan yang menakutkan bagi kekuasaan. Herbert Marcuse, seperti banyak pemikir Marxis lainnya, sangat kritis terhadap reifikasi dalam masyarakat kapitalistik, di mana segala sesuatu—termasuk seni—menjadi komoditas yang diproduksi untuk tujuan konsumsi dan keuntungan. Dalam masyarakat kapitalistik, seni tidak lagi dilihat sebagai ekspresi kebebasan dan kreativitas, melainkan sebagai barang yang diperjualbelikan untuk memperkuat hegemoni sosial dan politik. Dalam hal ini, seni kehilangan potensi kritis dan transformatifnya.

 

Namun, Marcuse tetap optimistis terhadap kemungkinan seni sebagai sarana pembebasan. Bagi Marcuse, seni memiliki potensi untuk membuka mata manusia terhadap realitas yang lebih dalam dan sejati, berbeda dari realitas yang diciptakan oleh sistem sosial dan ekonomi yang menindas. Ia meyakini bahwa dalam seni, terutama dalam bentuk-bentuk avant-garde, terdapat potensi untuk membebaskan manusia dari pembatasan-pembatasan sosial dan memungkinkan mereka untuk melihat dunia dengan cara yang baru dan lebih kritis.

Kemunculan UU Pemajuan Kebudayaan membuka kran yang mengalirkan dana serta ruang bagi berbagai pelaku kebudayaan dengan beragam platform dan orientasi serta ekspresi. UU Pemajuan Kebudayaan memiliki wawasan dan corak kebijakan yang berbeda dengan rezim orde baru, walaupun perlu ada evaluasi soal tata birokrasi bagi para penerima serta represi terhadap kesenian yang muncul sepanjang tahun 2023 yang diterbitkan oleh Koalisi Seni dalam laporan berjudul “Persimpangan Politik Penuh Ketakutan”. Terlepas dari itu semua, ada suatu pertanyaan yang muncul ketika melihat arus perubahan ini. Ketika geliat kebudayaan dan aktivitas kesenian berhadapan dengan musuh yaitu represi dan rezim yang otoriter, itu menegaskan posisi keduanya sebagai oposisi. Tetapi, ketika keadaan itu berubah dengan berbagai fasilitas dan pendanaan, apakah itu berpotensi menjadi jebakan yang menjerumuskan ke dalam elitisme baru? 

Kebudayaan dan kesenian berjalan dalam arus sejarah dengan setiap dinamikanya. Rezim berganti, dan begitu juga dengan konteks dan kebijakan yang ada. Kementerian Kebudayaan telah dibentuk, terpisah dari Kementerian Pendidikan,  Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Ini tentunya mengoptimalkan pengelolaan dan fokus pada kerja pemajuan kebudayaan, walaupun perlu ada kecurigaan dan sikap waspada karena penunjukkan jabatan kepada Fadli Zon sebagai Menteri Kebudayaan dan Giring Nidji sebagai Wakil Menteri, sarat dengan politik transaksional.

Kembali mempertanyakan posisi dan motif menjadi penting untuk setiap aktivis kebudayaan dan penggiat kesenian. Membaca konteks dan membangun konsolidasi kembali adalah persiapan menghadapi corak dan paradigma pemajuan kebudayaan pada rezim yang baru. Mengutip Chabib Duta Hapsoro;

“Kita harus mengingat bahwa ‘bulan madu’ kebudayaan yang dinikmati oleh para pelaku seni selama lima tahun terakhir bukanlah rezeki cuma-cuma yang jatuh dari langit.”

 

***

Editor: Margareth Ratih Fernandez

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
trackback

[…] dan tujuan mungkin adalah salah satu cara mengecek posisi itu?” Pada rubrik Jala berjudul Mempertanyakan Festivalisasi Kebudayaan Domi Djaga mengkritisi geliat festival di sekitarnya, yang turut ia alami dari dekat. Ia punya […]

Kalender Postingan

Selasa, Mei 20th