Kota yang Dikepung Lalu Ditinggalkan Air

Suatu sore di pekan awal September 2024, Hartati (53) sedang menjolok buah mangga di pekarangan rumahnya. Katanya, mangga itu akan ia acar sebagai pelengkap hidangan makan malam.

“Tadi siang masih ada sisa ikan bakar, kalau ada acar mangga muda akan makin mantap,” ujarnya kemudian.

Hartati adalah seorang ibu rumah tangga, ia mukim di Kelurahan Tumampua, Kecamatan Pangkajene, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan. Sore di awal September itu, saya menjumpainya kembali setelah kejadian banjir 2023 lalu. Sebulan kemudian, kepada saya, Hartati menceritakan peristiwa yang saban tahun kerap menimpanya: air dari saluran irigasi, yang berada pas di depan rumah, akan meluber dan merendam pekarangan hingga ke dalam rumahnya.

“[Airnya] sudah sampai sini, di lutut saya,” ia menimpali.

Berdasarkan pengalamannya puluhan tahun mukim di Tumampua, Hartati baru merasakan banjir berulang sekitar lima tahun belakangan, sebelumnya ia tidak pernah terdampak banjir. Petak rumah yang ia tempati dulunya memang sawah, ia menimbunnya sekitar 15 tahun lalu. Hal serupa dilakukan warga lain yang mulai membangun rumah di area persawahan itu. Menurut Hartati, penimbunan yang dilakukannya sudah sangat tinggi. Mustahil bisa kebanjiran. Namun, seiring waktu, peninggian jalan membuat area permukiman warga kembali di posisi terendah.

Jejak digital soal banjir di Pangkep bisa dilacak melalui berbagai pemberitaan media massa. Itu tentu memudahkan kita untuk melihat kembali lini masa banjir dari waktu ke waktu. Banjir semula hanya berupa luapan air sungai yang akan surut seiring berhentinya hujan, seperti pernah diberitakan Kompas.com pada 2013.[1] Setidaknya hingga 2014, banjir berulangkali terjadi hanya di lokasi tertentu, seperti di area terminal baru di Kecamatan Bungoro. Saat itu, berdasarkan informasi dari warga, ada orang hanyut ketika melintasi jalan yang sedang dilalui aliran air. Ia tak selamat. Warga yang tewas akibat banjir kembali terjadi di tahun 2019. Ahmad (27) meregang nyawa setelah terseret banjir di kawasan tambak di Dusun Kalukue, Desa Tamangapa, Kecamatan Ma’rang, sebagaimana diberitakan Jawa Pos.[2]

Banjir juga mulai jamak terjadi di sejumlah kawasan persawahan warga, seperti di salah satu area di Desa Kabba, Kecamatan Minasatene. Banjir tahunan di awal musim penghujan sungguh merepotkan petani karena merendam padi yang baru semingguan ditanam. Akibatnya, petani perlu merogoh kocek lebih dalam untuk mengulang proses tanam dari awal.

Selintas Imajinasi Pemerintah

Secara topografi, Pangkep memiliki bentang alam berupa dataran tinggi (perbukitan), dataran rendah, dan wilayah kelautan yang merentang hingga Laut Flores. Luas wilayah kabupaten ini mencakup 12.362,73 km², yang terbagi ke dalam wilayah kelautan seluas 11.464,44 km² dan daratan 898,29 km². Wilayah kemaritiman yang luas itu menunjukkan jejak sejarah terkait sebuah kerajaan yang berjaya di abad ke-10 bernama Kerajaan Siang.[3] Pada abad ke-17, pulau-pulau kecil di sekitar pusat Kerajaan Siang menjadi jalur niaga yang penting, khususnya Pulau Salemo yang disebut-sebut sebagai jalur sutra di pantai barat Sulawesi Selatan.[4] Kini, semua wilayah yang disebutkan itu secara geografis masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Pangkep. Pangkajene, sebuah kecamatan yang terletak di pesisir, didapuk sebagai ibu kota kabupaten.

Hingga 1999, pemimpin berlatar belakang militer bergantian mengisi posisi bupati Pangkep. Hal itu bisa dilacak setidaknya sejak dekade 1960-an, yang oleh The Liang Gie disebut sebagai “masa dekrit presiden”. Pada masa-masa itu, proses pemerintahan di daerah terbagi berdasarkan wilayah barat dan timur. Dalam catatan Gie, wilayah yang disebut Sunda Kecil, Sulawesi, dan Maluku diatur lebih rinci dalam UU SIT 1950/44 tentang Pemerintahan Dearah-Daerah Indonesia Timur[5]. Dari regulasi tersebut kita bisa melacak bagaimana militer menguasai pemerintahan hingga memegang tampuk kepemimpinan di daerah. Dari sebelas bupati (tidak termasuk status pelaksana tugas) yang telah memimpin Pangkep, lima di antaranya berasal dari militer.

Menilik latar belakang pemimpin di daerah, khususnya pada masa Orde Baru, menurut saya penting sebagai mikroskop untuk melihat lebih detail konsep pembangunan yang berlangsung. Sejumlah kajian menyebutkan model pengembangan kawasan di Indonesia pada masa Orde Baru menganut mazhab develomentalisme atau jamak disebut “Pembangunan”.

“Kata ‘pembangunan’ menjadi diskursus yang dominan di Indonesia erat kaitannya dengan munculnya pemerintahan Orde Baru,” tulis Mansour Fakih dalam bukunya.[6]

Lebih lanjut, Fakih menerangkan bahwa Pembangunan dalam konteks Orde Baru yang bercorak militer tidak hanya menunggangi program pembangunan secara fisik, tetapi juga menyasar pada kestabilan politik, ekonomi, dan perubahan sosial.

Mengingat gaya pemerintahan Orde Baru yang sentralistik, tidak mengherankan jika kita menyaksikan model pembangunan yang seragam. Contoh sederhananya adalah pembangunan kawasan perniagaan berupa rumah toko di kota-kota besar. Itu juga bisa dijumpai di sisi utara Sungai Pangkajene yang membelah kota. Deretan rumah toko di kedua sisi jalan menjadi penanda kawasan yang disebut kota oleh warga.

Bahkan setelah Reformasi dan bergulirnya Pilkada secara langsung, konsepsi pembangunan di Pangkep tidaklah berubah hingga hari ini. Orientasi darat masih menjadi primadona. Orientasi itu kini menyasar kawasan persawahan sebagai lahan yang dialihfungsikan menjadi kompleks perkantoran dan perumahan. Jejak kolonialisme memang tidak begitu mencolok di Pangkep, tetapi praktik pembangunannya mengandung anasir mental kolonial.

Peristiwa gres yang kini ramai diperbincangkan warga Pangkep ialah pembangunan jam kota yang menelan anggaran 2 miliar rupiah. Padahal, tak jauh dari pembangunan jam kota tersebut sudah ada jam kota lain yang putaran jamnya sudah lama tidak berfungsi, warga mengenalinya sebagai jam kota Tonasa karena kosntruksinya diapit dua karung Semen Tonasa.

Sejumlah pendapat warga yang tersiar di media sosial menyoroti pembangunan jam kota itu di tengah permasalahan sosial yang belum tertangani secara maksimal. Warga segera saja membandingkan pembangunan jam itu dengan pengelolaan sampah atau pengerukan selokan di wilayah perkotaan yang kewalahan menampung aliran air di musim hujan.

Polesan bedak pembangunan bercorak urban di ruang publik Pangkep, berupa patung, tugu, atau monumen yang menelan biaya tidak sedikit, berlangsung seiring pergantian bupati. Patung yang dibangun oleh bupati sebelumnya, biasanya dirobohkan di era bupati yang baru. Malah, pada periode Bupati Syamsuddin Hamid Batara (2010-2015) pernah dibagun gerbang kantor pemda bergaya gotik kemudian dirobohkan lagi untuk membangun penanda gerbang yang lain.

Memoles wajah kota sebagai ikon tidak pernah selesai di Pangkep. Titik nol Pangkep kini serupa galeri seni rupa publik, tentu versi pemerintah. Selain jam kota yang baru dibangun, di kedua sisi jembatan di atas Sungai Pangkajene telah terpampang patung perahu, jeruk, dokar, dan becak. Tak jauh dari situ terdapat monumen bambu runcing, lalu di seberang jalan ada patung Andi Mappe—sosok pahlawan lokal di zaman kolonial—yang dibangun di era pemerintahan Bupati Andi Baso Amirullah (1994-1999). Patung Andi Mappe itu masih duduk menatap ke jalan, cat di tubuhnya mulai terkelupas.

Saya teringat percakapan beberapa tahun lalu dengan mendiang Asdar Muis RMS, budayawan Sulawesi Selatan. Menurutunya, pada dekade ‘90-an, selain patung, Pemda Pangkep juga membangun tembok grafiti berisi pesan-pesan pembangunan di beberapa titik ruas jalan poros untuk menutupi kubangan lumpur.

Lebih lanjut, Asdar mendedahkan bahwa pembangunan patung dan tugu dilatari hasrat untuk menandai era kepemimpinan. Ia menunjukkan bagaimana Bupati Baso Amirullah banyak sekali membangun tugu dan patung pada masa kepemimpinannya, yang kemudian tidak dirawat di era bupati setelahnya, atau malah dirobohkan dan diganti patung lain. Patung burung merpati, yang lebih mirip rajawali, di perbatasan Maros yang dibangun di era Baso Amirullah kini tersisa satu setelah patung sebelahnya roboh karena adanya perbaikan konstruksi jembatan. Hingga lima kali masa pergantian bupati setelah Baso Amirullah, tidak ada upaya renovasi atau menggantikan patung perbatasan itu.

Sementara itu, tak jauh dari monumen bambu runcing, pernah ada ruang publik yang dikenali sebagai ‘panggung corat-coret’, di bagian depannya terdapat patung tangan. Semuanya telah lama raib begitu bupati berganti. Hingga sekarang, ruang bekas panggung corat-coret itu malihrupa jadi kawasan perbelanjaan; terdapat minimarket, warkop, dan warung.

Seiring zaman, corak kepemimpinan militer dan sipil sepertinya mengalami kefanaan, yang abadi justru kegemaran pemerintah membangun patung meskipun tidak jelas patung itu hendak menunjukkan ingatan kolektif macam apa. Saat ini, pembangunan patung bambu runcing setinggi dua meter marak terjadi di desa, bentuk dan ukurannya semuanya sama di sejumlah desa di Pangkep.

 

Rumah di Atas Bekas Sawah

Pembukaan area permukiman seringkali mengamputasi ekosistem. Itu bisa kita lihat dari praktik yang berlangsung sejak lampau. Hanya saja, dulu prosesnya melalui situasi berbeda. Pembukaan lahan permukiman di masa lalu dapat dilihat pada upaya sebuah kelompok yang bergotong-royong membuka lahan dengan mempertimbangkan aspek ekologis. Hasil praktik seperti inilah yang melahirkan area perkampungan.

Lain cerita jika kita menilik proses pembangunan kawasan masa kini, sebuah kompleks permukiman dikembangkan oleh perusahaan yang mendapat sokongan pemerintah. Inilah yang masif terjadi di sebuah kota-kabupaten yang sedang berkembang, tak terkecuali di Pangkep.

Imajinasi soal kompleks perumahan di sebuah kabupaten terdengar bak dongeng mengingat, bagi warga Pangkep, kompleks perumahan yang berjejer dengan bentuk serupa hanya bisa disaksikan melalui layar televisi di dekade awal ‘90-an. Memang ada kompleks perumahan yang dibangun PT Semen Tonasa, tetapi itu hanya untuk karyawan. Lagi pula, bagi warga Pangkep yang bercorak agraris, arsitektur rumah ideal masihlah konsturksi rumah panggung dengan lahan yang luas.

Saya sendiri pertama kali mendengar adanya kompleks perumahan di Pangkep pada 2016 silam melalui adik ipar. Ia menyampaikan bahwa di Pangkep telah ada perumahan bersubsidi di Kelurahan Bonto Perak, Kecamatan Pangkajene. Ketika ia mengajak saya melihat langsung, rupanya lokasi perumahan yang dinamai Riskita Residence itu merupakan area persawahan. Bahkan, pengembang yang bekerja di Bonto Perak itu bukan cuma satu. Terdapat beberapa pengembang lain dengan nama perumahan berbeda.[7]

Saya yang tiap hari melintasi jalan poros kabupaten tidak menyadari adanya proses pembangunan perumahan ini. Padahal, lokasinya tidak jauh dari jalan Trans Sulawesi. Jika melihat garis citra satelit, kompleks perumahan itu hanya berjarak sekisar 300-an meter dari Kantor Pemda Pangkep. Terlintas di benak, apakah ini bagian dari Program Sejuta Rumah yang dicanangkan di periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi?

Inimi program Jokowi, perumahan subsidi,” jelas Ismail dengan mantap. Adik ipar saya itu bekerja di lingkungan pemerintahan Pangkep. Ia tentu memperoleh informasi lebih cepat.

Belakang hari, rupanya kompleks perumahan yang dibangun bukan cuma satu kawasan. Tak jauh dari Kantor Pemda Pangkep juga ada yang menyulap area persawahan menjadi deretan rumah bersubsidi. Terdapat dua kawasan pengembangan yang dinamai Rachita 1 dan Rachita 2. Perumahan ini dikembangkan oleh PT Rachita, yang menggarap proyek di lima kabupaten di Sulawesi Selatan (Pangkep, Takalar, Gowa, Maros, dan Barru).

Kini, kompleks perumahan itu tengah ramai ditinggali sebagai kawasan hunian baru di Pangkep. Dan, selanjutnya, babakan situasi baru mulai tersaji. Saya juga pada akhirnya menempati satu petak rumah subsidi di Riskita Residence yang, dalam tujuh tahun terakhir, bergulat dengan kelangkaan air bersih.

Memang ada jaringan pipa dari PDAM, tetapi warga perumahan serasa melakoni sebuah perlombaan guna mendapatkan air. Tiap satu rumah berupaya menyedot aliran air lebih cepat menggunakan mesin. Ketika blok perumahan yang berada di bagian depan telah menghidupkan mesin, maka blok bagian belakang hanya mendapatkan angin. Air baru bisa didapatkan setelah blok bagian depan selesai, itu pun jika beruntung. Sialnya, tidak ada aturan atau konsensus untuk mengatur jadwal sedot air. Sialnya lagi, beban biaya PDAM terus dibayarkan tiap bulan meski ada warga yang tidak pernah mendapatkan air.

Saya pernah membayar Rp680.000 untuk menebus tagihan yang tertunda selama 17 bulan. Tiap bulan beban tagihannya senilai Rp40.000. Penundaan itu saya lakukan sebagai bentuk protes karena tidak mendapatkan air. Tagihan tadi akhirnya saya bayarkan di kantor PDAM supaya ada alasan mengutarakan keluhan. Harapan saya, setelah melunasi tagihan, air bisa lancar.

Nyatanya kemudian, air yang dinanti tak muncul-muncul. Selama setahun saya tinggal di perumahan, menantikan air ledeng mengalir serasa menunggu Godot; menanti sesuatu yang tak pasti.[8]

Situasi serupa membuat beberapa warga perumahan juga enggan membayar tagihan karena dianggap percuma saja. Saya sendiri kemudian datang kembali ke kantor PDAM dan meminta meteran air di rumah saya dicabut. Sejak itulah saya tidak lagi berlangganan air PDAM, tindakan ini kemudian diikuti beberapa tetangga yang bernasib sama.

Kami lebih memilih membeli air tandon yang dijajakan sebelum akhirnya mencoba membuat sumur. Hanya saja, tidak ada jaminan sumur yang digali menghasilkan pasokan air tanah yang bersih. Pihak pengembang juga pernah mengupayakan adanya sumur bor. Hasilnya mengecewakan, airnya asin. Proyek pengeboran kemudian dihentikan.

Saya sendiri termasuk memperoleh pasokan air tanah yang terbilang baik dan dapat digunakan untuk kebutuhan MCK[9]. Warga perumahan yang menggali sumur sempat mengungkapkan bahwa kontur tanah di Bonto Perak berlumpur sehingga kedalaman sumur tidak boleh lebih dari 4 meter. Jika lebih dalam lagi, air yang didapat akan asin. Itulah mengapa proyek sumur bor yang diupayakan pengembang perumahan gagal. Kedalaman pengeborannya sudah hampir mencapai 100-an meter.

Jika demikian, mengapa warga lain yang menggali sumur ada yang mendapatkan air asin dan ada yang tidak? Muhammad Syukur (45), misalnya, warga blok lain yang berjarak 20-an meter dari rumah saya, mengungkapkan bahwa sumur yang ia gali justru airnya asin meski kedalamannya tidak lebih dari 4 meter. Sumur itu lalu ditimbun kembali, ia memilih membeli air saja karena lebih praktis. “Sisa pesan dan bayar,” ungkapnya.

Pasokan air itu berasal dari Kampung Belae, Kelurahan Biraeng. Penjaja air membelinya di sejumlah sumur warga di Kampung Belae lalu dijual kembali. Tentu ini bisnis mandiri yang dijalankan para penjaja air karena ruang pasar yang terbuka: ada permintaan.

Kini harga air satu tandon berkapasitas 1.200 liter mencapai Rp40.000. Pada 2016 hingga 2018 lalu, ketika saya masih berlangganan, harganya masih Rp30.000. Harga air terus naik mengikuti kenaikan harga-harga yang lain. Berdasar pengalaman, air satu tandon biasanya habis dipakai dalam empat hari. Jadi, dalam sebulan, ongkos yang dikeluarkan untuk pasokan air bersih sekisar Rp300.000 untuk masa sekarang. Tentu saja hitungan empat hari itu bisa relatif karena disesuaikan dengan alokasi penggunaan air masing-masing rumah tangga yang berbeda.

Situasi yang dialami warga di Riskita Residence juga terjadi di Rachita 2. Seorang teman, Muhammad Yusuf (39)—ia menempati satu petak di perumahan itu—terus membeli air tandon sejak awal mukim pada 2017 lalu sampai sekarang. Jaringan PDAM yang terpasang di Rachita 2 juga tidak mengeluarkan air. Sementara itu, sumur yang digali di pekarangan rumahnya hanya bisa digunakan saat musim hujan. “Kalau kemarau, air sumur berwarnah merah dan berminyak,” tuturnya.

Yusuf memilih perumahan Rachita 2 karena masuk dalam wilayah Minasatene. Warga Pangkep mafhum jika mendengar nama kecamatan yang satu itu. Lokasinya yang berdekatan dengan kawasan karst menjadi jaminan pasokan air. Tetapi, hal yang dijumpai Yusuf dan warga perumahan lainnya di Rachita 2 sama saja dengan warga perumahan di Riskita Residence.

 

Air yang Bercabang

Dalam kebudayaan berbahasa Arab, Urdu, dan Hindustan, air disebut aab. Masyarakat dari ketiga kebudayaan itu bahkan menyebut aabad raho—yang mengandung aab, air—sebagai salam untuk kemakmuran dan kelimpahan.[10] Banyak kebudayaan lain juga menggunakan kata ‘air’ dalam khazanah sosiokulturalnya. Penamaan Pangkajene sendiri pun mengandung penyebutan air. Nama ini menunjukkan aliran air di sungai yang membentuk percabangan sebelum sampai di muara. Dalam beberapa riwayat, percabangan itu disebut-sebut sebagai titik jumpa orang-orang yang hendak bertemu. Semua itu menunjukkan bahwa air merupakan matriks budaya sekaligus dasar kehidupan.

Di masa pemerintahan Hindia Belanda, akses Sungai Pangkajene telah mempersaudarakan masyarakat Pangkajene daratan dan masyarakat pulau terdekat. Dalam konteks ini, terkenal ungkapan, “Anjorengpaki sigappa ri pangkana je’ne ka.[11] Secara harfiah, ungkapan itu berarti: kita bertemu di percabangan air. Ini menunjukkan penggunaan perahu sebagai moda transportasi air yang efektif kala itu. Pangkajene berasal dari gabungan dua suku kata bahasa Makassar dalam ungkapan tadi: pangka (cabang/bercabang) dan je’ne (air).

Kini sungai Pangkajene tetap berfungsi sebagaimana riwayat mulanya, menjadi salah satu jalur yang digunakan warga di ratusan pulau yang masuk dalam wilayah Pangkep di perairan Selat Makassar untuk mengakses daratan induk. Namun, banjir membuat riwayat sungai ini bercabang menjadi bencana.

Banjir yang mulai melanda dalam sepuluh tahun terakhir sugguh tak terbayangkan. Pada 2023 lalu, banjir membuat arus kendaran antar daerah terhenti di Pangkajene—sebagai salah satu wilayah terdampak paling parah. Sementara di sisi lain, berjarak sekitar 300-an meter dari jembatan, tepatnya di sebelah barat, dermaga dan pasar juga terendam banjir. Sungai Pangkajene tak cukup menampung debit air, luberannya menggenangi wilayah permukiman di sekitar.

Luapan Sungai Pangkajene yang membelah kota tidak hanya melumpuhkan jalan, tetapi juga area permukiman yang mencakup Pangkajene, Bungoro, dan Minasatene. Tiga kecamatan itu memang dekat pusat kota, yang hampir semua wilayahnya terkena imbas banjir. Selain rumah warga, banjir juga menggenangi pusat perkantoran. Kantor Pemda Pangkep, kantor DPRD, Polres Pangkep, Kodim 1421 Pangkep, sekolah, taman kota dan pasar, termasuk rumah sakit daerah pun ikut terendam banjir.[12]

Tampak sejumlah kendaraan yang melintas di Pangkajene terendam banjir di ujung jembatan. Foto ini diposting di Instagram @davhowie pada 13 Februari 2023.
Bandingkan dengan foto drone lanskap Pangkajene, beberapa bulan pascabanjir. Foto ini diposting kembali oleh David Howie di akun Instagramnya (@davhowie) pada 17 November 2023

Aliran air bercabang ke mana-mana, termasuk menggenangi daerah rumah Yusuf di Rachita 2, yang tidak jauh dari area kantor Pemda Pangkep. Jika Hartati mengalami dampak banjir lima tahun berjalan, maka warga di Rachita 2—menurut keterangan Yusuf—baru merasakannya dua tahun terakhir. Ia sempat mengira banjir pada 2022 yang paling parah, rupanya banjir pada 2023 lebih besar lagi.

Warga di sejumlah lokasi yang terdampak banjir 2023 lalu tidak mengira jika air akan terus meninggi hingga selutut orang dewasa. Masih menurut Yusuf, banyak warga di Rachita 2 tidak sempat memindahkan perabot rumah sehingga kerugian yang dialami begitu terasa. Begitu air surut, membersihkan sisa lumpur yang tertinggal semakin menambah beban kerja.

 

Horor Air dan Ekstraksi Batu Kapur

Jejak banjir di wilayah perkotaan di Pangkep, seperti yang saya tuliskan di atas, dapat dilacak pada 2013. Kabarnya tersiar di media nasional, menunjukkan bahwa peristiwa tersebut tidaklah berskala kecil. Sejak itulah dimulai babakan horor bila air mulai berjatuhan dari langit. Hujan tidak hanya menimbulkan kekhawatiran, melainkan sudah menjadi ketakutan. Warga takut banjir semakin meluas bilamana hujan turun. Wilayah yang sebelumnya tidak terdampak kini tinggal menunggu antrean, seperti yang dirasakan Hartati dan Yusuf.

Lalu, horor pun berganti seiring bergantinya musim. Saat kemarau tiba, warga punya ketakutan lain: kekeringan.

Warga di Kabba—kampung saya—telah berjibaku dengan kekeringan saban tahun sejak paruh awal dekade ‘90-an. Tiap kemarau, sumur warga di pekarangan rumah perlahan mengering. Saat itu terjadi, mereka akan mengandalkan sumur komunal untuk berbagi air. Di Kabba, sumur komunal terdapat di beberapa titik, salah satunya di RT 03 yang disebut bujung lompo[13]. Riwayat keberadaan sumur ini beranak-pinak di benak warga. Sebuah konon menyebut sumur ini sudah ada sejak Zaman Gerombolan[14]. Tuturan lain meyakini sumur tersebut milik seorang warga yang dulunya membangun rumah di situ.

Meski di puncak kemarau, bujung lompo tidak pernah mengering. Karena itu, akhirnya warga RT 03 mengandalkannya sebagai sumur bersama. Saya masih ingat, di kisaran tahun 1995, warga akan mengumpulkan donasi untuk membeli pasir dan semen bila pelataran sumur mulai mengalami retak. Pelataran itu biasanya dipakai untuk mencuci. Bujung lompo menjadi ruang sosial warga yang menyimpan banyak kisah.

Di sumur itu pula warga menerapkan wujud toleransi untuk saling berbagi air sesuai kebutuhan. Aturan pakainya sederhana saja, warga perlu bersabar mengantri giliran untuk menimba. Memasuki paruh akhir dekade ‘90-an, romansa warga di bujung lompo berakhir setelah jaringan pipa PDAM mulai menjalar ke rumah-rumah.

Kesaksian emak dan kakak saya soal kekeringan bahkan berasal dari masa yang lebih lama lagi. Menurut cerita mereka, pada dekade 1970-an, mereka harus menempuh perjalanan jauh ke sebuah sumur yang digali di tengah sawah untuk mendapatkan air.

Parade menempuh perjalanan jauh ke tengah sawah itu masih berlangsung hingga kini. Tak jauh dari Kabba, ada warga Kampung Banggae di Kelurahan Bonto Langkasa, Minasatene, yang terus melakoni ‘tradisi’ itu. Saat siklus kemarau berlangsung, secara perlahan perigi-perigi di pekarangan rumah warga mulai kekurangan debit air.[15] Sebenarnya pipanisasi oleh PDAM juga menjalar ke Banggae. Hanya saja, menurut kesaksian warga, air ledeng mengalir tidak genap sebulan sejak pipa terpasang. Pilihannya, warga beralih ke sumur masing-masing saat musim hujan tiba, berjalan jauh sekisar 1 km ke sumur komunal di tengah persawahan, atau membeli air di musim kemarau.

Seorang ibu menimbah air di sumur komunal yang dinamai bujung lempa di Kampung Banggae, Bonto Perak. (dok. pribadi)

Seiring usia, saya bertanya-tanya: mengapa ada daerah yang dibanjiri air saat musim hujan justru kekurangan pasokan air di musim kemarau? Padahal, Pangkep dilimpahi anugerah perbukitan karst yang merentang hingga ke kabupaten tetangga, Maros. Itulah mengapa daerah ini juga disebut Kawasan Karst Maros-Pangkep. Bentangan karst yang menyimpan puluhan gambar cadas berusia ribuan tahun menunjukkan bahwa manusia purba memilh mukim di kawasan ini karena tersedianya pasokan air dan ekosistem makanan (lanskap hutan dan pesisir). Desa-desa yang didindingi bentangan karst harusnya tak punya sejarah kekeringan.

Masuknya pipa PDAM ke desa-desa pada paruh akhir dekade ‘90-an perlahan sempat menjawab kebutuhan air di musim kemarau. Hanya saja, di beberapa titik permukiman di desa, jangkauan air PDAM terbatas. Rupanya, hal demikian terkait situasi teknis. Jangkauan instalasi pipa induk berukuran 6 inci tidak sepenuhnya menjangkau area permukiman, selebihnya hanya dijangkau pipa berukuran ½ inci. Tentu saja air sulit mengalir di pipa sekecil itu.

Saya teringat pada instalasi perpipaan di Riskita Residence. Ukuran pipa di perumahan ini juga hanya ½ inci. Seorang karyawan PDAM Pangkep memang pernah mengungkapkan bahwa instalasi perpipaan adalah kendala yang mereka hadapi sebagai penyedia jasa air. Selain tidak merata, instalasi pipa PDAM juga sebagian besarnya sudah usang.

Di satu kesempatan, saya berbincang dengan teman yang enggan disebutkan namanya dalam catatan ini. Ia mengungkapkan bahwa jaringan pipa di rumahnya terhubung langsung ke pipa induk di sumber mata air sehingga aliran airnya selalu lancar. Itu bisa terjadi sebab, di kawasan ia tinggal, ada orang yang berpengaruh di pemerintahan.[16] Jika benar demikian, maka peroses pemasangan pipa PDAM rupanya juga sangat politis dan kolusif.

Namun, kekeringan tidak melulu menyangkut persoalan pipa. Kita bisa melebarkan lanskap situasinya pada ekosistem air. Di Sulawesi Selatan, kawasan karst Taman Nasional Bantimurung merentang hingga tiga kabupaten, mulai dari Maros, Pangkep, dan Bone. Kawasan karst merupakan kesatuan ekosistem yang saling menunjang bagi makhluk hidup. Selain sebagai hunian flora dan fauna, kawasan karst juga menjadi jaminan bagi manusia untuk membangun ruang penghidupan. Dalam sesi perbincangan Suara Seniman di Makassar Biennale 2023, Gandhi Eka[17] juga sepakat bahwa manusia purba memilih mukim di gua-gua karst dikarenakan tersedianya sumber makanan dan air. “…Sederhananya, gunung karst bisa kita lihat sebagai tong air raksasa, menyuplai air dalam jumlah melimpah bagi banyak kawasan dataran di sekelilingnya…”[18]

Para peneliti menduga Kawasan Karst Maros-Pangkep dulunya adalah bagian dari pesisir sebelum menglami evolusi seperti sekarang. Seiring waktu, dalam fase sejarah yang lain, manusia mulai mengembangkan sistem pertanian berupa padi yang membutuhkan pasokan air.

Dalam fase sejarah yang lain lagi, melimpahnya batuan kapur di Pangkep mendorong lahirnya industri pengolahan dan ekstraksi. Industri tertua dan pertama adalah PT Semen Tonasa, yang mulai beroperasi sejak 1960-an. Selanjutnya, gempuran perusahaan marmer di paruh awal dekade 2000-an mulai masuk dan tersebar di sejumlah titik kawasan karst.

Jadi, jika warga di desa saya mulai mengalami kekeringan pada 1970-an, relasinya bisa dibaca melalui pengolahan batu kapur yang dimulai PT Semen Tonasa sedekade sebelumnya. Jejak kerusakan ekologis yang ditimbulkan industri itu jelas mempengaruhi ekosistem kawasan karst. Desa saya berada di sisi barat bekas pabrik Semen Tonasa. Pabrik itu semula beroperasi di Desa Tonasa, Kecamatan Balocci, berjarak sekisar 7 km dari desa saya. Pada 1980, area pabrik berpindah ke Desa Biringere, Bungoro.

Hasanu Simon, guru besar Fakultas Kehutanan UGM, menerangkan metode kerja ekosistem karst yang dapat menyerap dan menyimpan air hujan sebelum melepasnya sebagai air permukaan atau aliran air bawah tanah. “Tong air raksasa itu, dengan kata lain, punya dua peran sekaligus: mencegah banjir pada musim hujan dan menyediakan air pada musim kemarau,” ungkap Simon.[19]

Pintu masuk TPA Bontoa di Kelurahan Bontoa, Bungoro, Pangkep. Nampaknya pemerintah daerah henda membuat bukit sampah di area bukit karst. (Dok. Saenal K)

Hingga kini, gejala banjir yang mulai melumpuhkan wilayah perkotaan dan keringnya perigi-perigi warga belum dibaca sebagai dampak dari ekstraksi bukit kapur yang telah berlangsung enam dasawarsa berjalan.

Mengurai relasi pertambangan di Pangkep dengan dampak banjir dan kekeringan tampaknya belum menjadi perhatian serius bagi pemerintah daerah. Dalam laporan penelitian yang dilakukan Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR) Sulsel pada 2013, tercatat bahwa Dinas Pertambangan di Pangkep sendiri tidak memiliki informasi penting tentang industri pertambangan, khususnya perusahaan marmer.

Dinas Pertambangan Pangkep, salah satu dinas yang seharusnya punya segudang informasi tentang dunia pertambangan Pangkep, justru tidak punya informasi penting sama sekali, kecuali daftar nama-nama perusahaan marmer yang beroperasi di Pangkep. Selebihnya nol. Bahkan, secuil riwayat dari satu saja perusahaan tambang marmer tidak ada.[20]

Beroperasinya tambang marmer di Pangkep rasa-rasanya bak hantu. Tiba-tiba saja di satu tempat terdapat perangkat alat berat, tak lama kemudian menghilang, dan muncul lagi di tempat yang lain. Samsurya MZ (25), warga Kelurahan Balleangin, Balocci, belakang hari baru menyadari jika di wilayah tempat tinggalnya pernah ada operasi tambang marmer. Samsurya lahir pada 1999, bertepatan dengan berhentinya penambangan oleh PT Gora Gahana, perusahaan marmer yang mulai beroperasi di Balleangin pada 1996. Menurutnya, bekas area tambang itu tampak menyisakan potongan-potongan batu kapur dan tidak bebas akses bagi warga.

Pada 2022, saya berkunjung ke Kampung Bu’nea, Desa Bulutellue, Kecamatan Tondong Tallasa. Bu’nea merupakan area tambang marmer PT Citatah Tbk di Pangkep. Di sana, tampak gelondongan batu kapur yang sudah terpotong berbentuk kubus. Gelondongan batu itu teronggok begitu saja di tepi jalan.

Kehadiran puluhan perusahaan tambang marmer di Pangkep, yang menyedot begitu banyak angkatan kerja itu, mengalami titik balik ketika mulai ada larangan ekspor dan peninjauan kembali izin tambang pada 2015.[21] Dampaknya, ratusan angkatan kerja mulai mengalami PHK atau, istilah lainnya, dirumahkan dengan kompensasi yang telah disepakati.

Menurut Nurhasan (45), warga Kabba sekaligus eks karyawan PT Citatah yang mulai bekerja sejak 1998, gelombang PHK karyawan marmer bahkan sudah dimulai sejak 2004. “Jika tidak salah sekitar 2004, ada 400-an karyawan yang menerima nasib serupa,” ujarnya melalui sambungan telepon.

 

Suara Warga

Perubahan iklim membuyarkan pembacaan musim sekaligus mengaburkan pengetahuan warga. Daeng Azis (52), seorang petani di Kabba, tidak tau lagi kapan waktu yang tepat untuk mulai menyiapkan benih guna memulai penanaman padi.

“Dulu itu kalau sudah panen musim kemarau, kita istirahat dulu tiga bulan, menunggu musim hujan,” ungkapnya. Hujan yang dinanti biasanya mulai turun saat Agustus. Perhitungan musim dalam setahun dibagi per enam bulan.

Bare’ dan timo, bahasa Bugis untuk menyebut musim hujan dan kemarau, tak lagi bisa menjadi acuan. “Tahun lalu kemarau begitu panjang, harusnya sudah menanam padi musim hujan di bulan Agustus, tetapi tidak jadi karena tidak ada air,” kenang Daeng Azis.

Daeng Azis termasuk petani yang saban tahun terdampak banjir bila musim hujan tiba. Ia mengeluhkan limpahan air yang menggenangi padi di sawahnya.

Ia tak cukup punya upaya untuk membicarakan siklus tanam dengan sesama petani yang lain. Meski begitu, menurutnya, siklus tanam harus berubah karena turunnya hujan sudah sulit diperkirakan. Ia menyimpan harapan agar pemerintah desa atau penyuluh pertanian mendorong adanya pembicaraan yang melibatkan petani dalam pembahasan perubahan siklus tanam.

Sementara itu, Hartati mengeluhkan banyaknya eceng gondok yang tumbuh mekar di dalam saluran irigasi di depan rumahnya. Petugas yang biasa membersihkan saluran itu tidak punya jadwal rutin. Ia juga menilai renovasi irigasi yang dilakukan pemerintah dengan menambah ketinggian pinggiran bukanlah solusi. Jika Sungai Pangkajene meluap, tetap saja saluran irigasi itu tidak bisa menampungnya.

Di lingkungan perumahan saya sendiri, di Riskita Residence, warga pun mulai tampak khawatir meski sejauh ini belum terdampak banjir seperti yang terjadi di Rachita 2. Saat bermain sepak takraw pada suatu sore, Rusdi (51), yang rumahnya hanya sekisar 10-an meter dari petak rumah saya, mengungkapkan bahwa perbaikan selokan di tepi jalan poros memunculkan saluran mengarah ke dalam perumahan.

“Dulu kan tidak ada, kenapa waktu dibangun ada saluran masuk ke sini?” tukasnya. Rusdi melihat jika saluran itu akan mengalirkan air masuk ke dalam perumahan.

Di sekitaran Riskita Residence masih terdapat area persawahan yang masih ditanami. Bagi warga maupun pemda, mungkin hamparan sawah itu dilihat sebagai area resapan untuk mengendalikan luapan air di musim hujan.

Ini juga menjadi tantangan tersendiri, ketika pemerintah terus membangun dan tidak melibatkan warga dalam pemetaan masalah untuk mencapai penetapan kebijakan. Proses Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang), yang sejatinya menjadi ruang pertemuan warga dan pemerintah dalam membicarakan kebijakan pembangunan, kerap kali berakhir sebagai formalitas prosedural saja. Hasilnya kadang tidak mengandung kesepakatan dengan warga dan hanya berupa ‘kebijaksanaan’ dari pemerintah. (Editor: Ragil Cahya Maulana)

_________

Catatan:

1 https://regional.kompas.com/read/2013/02/19/1357033/~Regional~Indonesia%20Timur. Diakses pada Selasa, 17 September 2024, pukul 14.33 WITA.

2 https://www.jawapos.com/berita-sekitar-anda/01188581/warga-pangkep-tewas-terseret-banjir. Diakses pada Kamis, 23 Januari 2025, pukul 09.21 WITA.

3 Baca lebih lanjut Leonard Y Andaya, Warisan Arung Palakka. Makassar: Ininnawa, 2021, hal. 27.

4 Baca lebih lanjut Husnul Fahimah Ilyas, dkk, Pangngaji Salemo-Rekonstruksi dan Kontinuitas Keulamaan Nusantara. Yogyakarta: LKiS, 2022, hal. 20.

5 The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintah Daerah di Negara Republik Indonesia (Jilid I, Edisi Kedua). Yogyakarta: Liberty, 1993, hal. 13 dan 247.

6 Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: Insist Press, 2009, hal. 10.

7 https://pasarproperti.com/perumahan/keterangan/riskita-residence-bonto-perak-kab-pangkajene-kepulauan. Diakses pada Sabtu, 9 November 2024, pukul 18.30 WITA.

8 Baca lebih lanjut “Perigi-perigi Kering di Bentangan Karst Pangkep-Maros” dalam Riwayat Gunung dan Silsilah Laut: Sejarah Baru tentang Air, Perkampungan, dan Migrasi di Makassar, Nabire, Labuan Bajo, Parepare, dan Pangkep. Makassar: Yayasan Makassar Biennale, 2023, hal. 42.

9 mandi-cuci-kakus

10 Vandahana Shiva, Water Wars: Privatisasi, Profit, dan Polusi. Yogyakarta: Insist Press-Walhi, 2002, hal. 1.

11 https://palontaraq.id/2017/02/27/eksotisme-narasi-sejarah-dan-wisata-sungai-di-pangkajene/. Diakses pada Minggu, 10 November, pukul 14.28 WITA.

12 F Daus AR. “Terjebak di Kota Pangkajene” dalam e-paper Suara Pangkep Id. Edisi Senin, 13 Maret 2023.

13 bahasa Bugis, artinya: sumur besar.

14 Zaman Gerombolan di benak warga merujuk pada pemberontakan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan pada dekade 1950-an.

15 Simak lebih lanjut tulisan saya: https://artefact.id/2023/10/13/berharap-tidak-ada-timba-terakhir-di-bujung-lempa/

16 Ini penting saya masukkan di sini sebagai upaya merekam percakapan yang bersifat rahasia umum. Kita tahu bahwa praktik seperti ini jamak diketahui, termasuk dalam beberapa hal seperti harus punya koneksi di birokrasi jika ingin lancar mengurus sesuatu. Saya pikir ada kesadaran naif yang bekerja dalam hal ini jika memakai analisis Paulo Freire mengenai varian kesadaran. Informasi seperti ini tentu saja butuh tindak lanjut (investigasi) jika hendak menelusurinya lebih jauh.

17 Komikus asal Bandung yang beresidensi dan berpameran di Pangkep.

18 Nurhady Sirimorok, dkk. Yang Hilang Ditelan Kuasa, Membincang Lagi Pegunungan Karst Maros-Pangkep dalam Makassar Biennale 2021, Makassar: Yayasan Makassar Biennale, 2022, hal. 5.

19 Ibid.

20 Mubarak Idrus (editor), Gerak Demokrasi Lokal, Pergumulan dari Pangkep, Sulawesi Selatan, Makassar: Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR), 2013, hal. 98.

21 https://makassar.tribunnews.com/2016/03/31/10-perusahaan-marmer-pangkep-yang-tutup-imbas-larangan-ekspor. Diakses pada Rabu, 13 November 2024, pukul 08.34 WITA.

 

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
trackback

[…] Padahal, Pangkep punya situs yang menyejarah berupa perbukitan karst. Dalam tulisan berjudul Kota yang Dikepung Lalu Ditinggalkan Air ini, kita bisa melihat sejarah pembangunan Pangkep sebagai kerja pembentukan identitas urban-modern […]

Kalender Postingan

Kamis, Februari 13th