Apa yang Tersisa dari Masa Depan?

Catatan Kuratorial Pseudo-Entertainment #1

1

“Apa itu bangsa? Apa itu Indonesia? Saya tak pernah berjuang untuk bangsa, apalagi Indonesia,”

(Am Siki, Orang-orang Oetimu)

 

Suatu hari di tahun-tahun awal kemerdekaan, rombongan pejabat Republik Indonesia berarak dengan mobil menuju Oetimu, sebuah kampung yang digambarkan terletak di pulau Timor. Mereka ingin bertemu dengan Am Siki, seorang warga kampung yang dikenal telah turut membantu tentara Indonesia mengusir para penjajah dari tanah Timor. Mereka datang dengan beragam hadiah: uang, piagam, dan medali sebagai tanda penghargaan. Di mata para pejabat republik, Am Siki adalah seorang pahlawan nasional. Ia patut diberi penghormatan atas sumbangsihnya pada persatuan bangsa dan negara Republik Indonesia.

Di Oetimu, tak ada orang yang tak mengenal Am Siki. Ia satu-satunya yang pernah membunuh sepuluh tentara Jepang sekaligus, membakar habis satu kamp kerja paksa, dan membebaskan para tawanan perang. Padahal, ketika Jepang menguasai wilayah tersebut, tak ada satupun orang yang benar-benar bisa lari dari ujung samurai mereka. Jika pun mereka ingin kau hidup, artinya kau harus bekerja setengah mati tanpa makanan, dicambuk atau diperkosa siang dan malam. Hanya Am Siki yang berani melawan. Kisah kepahlawanannya begitu masyhur dan diceritakan dari kampung ke kampung. Semangatnya berubah menjadi gelombang perlawanan dari pulau ke pulau.

Am Siki bingung melihat sikap para pejabat yang begitu menghormatinya, memperlakukannya seperti ‘orang besar’. Ia tak pernah merasa menjadi pahlawan nasional. Bagi Am Siki, ia membunuh sepuluh tentara Jepang sekaligus, membakar habis satu kamp kerja paksa, dan membebaskan para tawanan perang sebab ia disergap murka ketika melihat tentara-tentara itu tak henti-hentinya memperkosa kuda-kudanya yang ia ikat di bawah pohon-pohon lontar di dekat kamp kerja paksa. 

Am Siki malah marah dengan sikap para pejabat Republik Indonesia. Ketika rombongan tiba, Am Siki menyambut mereka dengan lantunan syair-syair adat yang indah, sebagai  tanda penghormatan. Syair-syair itu hanya boleh dilantukan pada ritual yang benar-benar bermakna. Mendengar syair-syair itu, pejabat-pejabat republik hanya mangut-mangut tak jelas. Ia menganggap para pejabat itu arogan karena memaksa masyarakat Oetimu mempelajari bahasa mereka yang bernama Indonesia, sementara mereka sendiri tidak mau belajar bahasa yang diturunkan nenek moyang penduduk Oetimu yang menurutnya lebih indah dan bermakna. 

***

Oetimu yang setelah kemerdekaan Indonesia masuk dalam wilayah administratif Kecamatan Makmur Sentosa adalah sebuah kampung imajinasi Felix K. Nesi yang menjadi lokus utama cerita dalam novel Orang-orang Oetimu. Dalam salah satu percakapan, Felix mengakui kalau lanskap Oetimu pertama-tama adalah halaman belakang rumahnya tempat ia menggembalakan kambing, memelihara sapi, bermain layang-layang atau berkelahi dengan teman-teman masa kecilnya. Oetimu dibangun dengan anasir-anasir budaya Timor bersama seluruh konteks sejarah sosial politik dan budayanya. Di Oetimu, para pembaca bisa melacak narasi-narasi besar mengenai kolonialisme, sejak Belanda dan Portugis membagi pulau Timor menjadi Timor Barat dan Timor Timur, seperti seorang bocah yang berulang tahun berbagi kue dengan kerabatnya. Di lanskap yang sama, kita juga bisa melihat narasi-narasi yang khas dari suku Dawan, senada kisah Am Siki yang patah hati setelah tak berdaya mengajarkan mitos dan mantra ke cucu-cucunya. Ia selalu kalah dengan kisah-kisah pahlawan nasional dan cerita-cerita alkitab. 

Dalam satu Bincang Buku di Klub Buku Petra-Ruteng, seorang peserta bertanya kepada Felix, berapa lama Felix melakukan riset untuk novel ini? Ia cukup kagum dengan kemampuan Felix merekam episode-eposide kekerasan dalam sejarah Timor di novel ini. 

Bagi Felix, Orang-orang Oetimu adalah caranya menulis tentang dirinya sendiri. Cara Felix menulis luka.

Di depan begitu banyak luka, bagi Felix riset kadang hanya dibutuhkan untuk melengkapi cerita. Luka bagi Felix bukanlah sesuatu yang hanya tinggal sebagai ingatan (memoria passionis) belaka.

Luka telah dan sedang terjadi di sekitarnya. Ia mengalaminya dan pengalaman personal adalah bensin yang paling baik untuk membakar empati supaya bisa merasakan pengalaman orang lain. Jika, Oetimu adalah halaman belakang rumah Felix, kira-kira apa yang akan ia lakukan ketika mendapati dua bangsa asing berkelahi memperebutkan kampung itu?

Felix pernah menangis ketika Laura, tokoh dalam novelnya harus mati, tanpa bisa ditahan oleh Am Siki, sebagaimana ia mengingat kisah-kisah masa sekolahnya yang susah karena tak ada fasilitas yang memadai, guru-guru yang mengejar murid-murid dengan kayu karena tidak mau belajar; sebagaimana ia melihat peristiwa bunuh diri Maria yang putus asa, sebagaimana ia mendengar banyak korban meninggal dilindas unimog tentara di sepanjang Timor setelah Indonesia gagal menjajah Timor Leste; sebagaimana kita dibuat patah hati karena Silvy yang cerdas itu terpaksa merelakan pendidikannya karena hamil di luar nikah,  sebagaimana ia tahu banyak kekerasan seksual dilakukan oleh pastor. Jika di masa kecilnya, buku-buku pelajaran sekolah hanya menceritakan dunia di luar pulau Timor: stasiun Gambir, danau Toba, tugu Monas, Pasar Kembang atau keluarga kelas menengah atas di Jakarta, melalui Oetimu Felix ingin bercerita tentang dunia yang sehari-hari ia alami dan jalani, setelah sekian lama ia dipaksa percaya seolah-olah dunia itu tak menarik dan tak pantas diceritakan.

Buku Orang-orang Oetimu diterbitkan oleh Marjin Kiri pada 2020. Sampai dengan tahun 2023, novel berukuran 14×20,3 cm dengan 220 halaman ini telah dicetak ulang enam kali. Buku ini dirayakan di mana-mana sebagai sebuah pencapain sastra Indonesia kontemporer. Felix Nesi diundang di berbagai forum dan festival. Sebelumnya, naskah Orang-orang Oetimu memenangkan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2018. Tentang novel ini, para dewan juri berpendapat, “penulisnya mampu menggambarkan budaya, suasana kehidupan, karakter orang timur dengan sangat kental dan akurat: sebuah contoh ‘fiksi etnografis’ yang digarap dengan baik.” Suatu cara pandang yang kemudian banyak menuai kritik. 

2

Hence, we need to remember that when you speak to power  sometimes you use the same language and might end up with reproducing the same logics.

(Rosalba Icaza)

 

Walter D. Mignolo dalam esainya ‘Geopolitic of Sensing and Knowing (2011)’ berpendapat bahwa Bandung menanamkan dasar historis bagi gestur dan gagasan mengenai dekolonial dalam politik global dan legasinya: delinking epistemology. Menurutnya, Bandung Conference sebagai konferensi internasional pertama ‘orang-orang kulit berwarna’ (people of colour) memantik gagasan mengenai ‘delinking’ ketika para partisipan konferensi mengambil sikap untuk tidak berpihak pada salah satu narasi imperial Barat, kapitalisme atau komunisme. Bagi Mingolo, Bandung Conference adalah momen bersejarah ketika eksistensi dan suara ‘orang-orang kulit berwarna’ benar-benar diperlihatkan (visible) dan pilihan politik mereka di skena pertarungan kekuasaan global ditegaskan. Bandung menunjukkan bahwa ada alternatif di luar narasi-narasi kolonial-modern-kapitalis yang secara serampangan meminggirkan ‘orang-orang bukan kulit putih’ (non-white people). Kemandirian dan pemberdayaan bisa diupayakan oleh negara-negara partisipan dengan Indonesia sebagai salah satu inisiatornya, tidak dengan jalan ‘third way’ a la Giddens, tetapi berlangsung di luar operasi-operasi biner kapitalis-komunis, untuk menentukan nasib mereka sendiri. 

Dalam sebuah percakapan yang diterbitkan dalam bunga rampai tulisan berjudul Meanings of Bandung, Tamara Soukotta dan Rosalba Icaza membincangkan makna Bandung, seturut trayektori personal, profesional, epistemis mereka masing-masing, yang sama-sama menaruh perhatian pada dinamika negara-negara pascakolonial. Dalam percakapan itu, Tamara Soukotta melayangkan kritiknya pada Mignolo. Menurut Soukotta, melihat Bandung hanya sebagai gestur dekolonial sungguh menyederhanakan kompleksitas makna Bandung. Menurut Soukotta, jika menilik secara detail pembentukan negara-bangsa  Indonesia modern, yang terjadi sesungguhnya adalah proses unifikasi yang di dalamnya memuat kekerasan dan eliminasi terhadap keragaman bahasa, adat-istiadat, dan dengan demikian sejarah-sejarah serta pandangan-pandangan tentang kosmos yang partikular dari keragaman suku di Indonesia. Menurutnya, pengabaian terhadap pluralitas demi sebuah negara kesatuan yang tunggal pada aspek tertentu adalah bentuk kolonialisasi dalam dirinya sendiri. Dengan demikian, nasionalisme pada taraf tertentu adalah anak kandung kolonialisme. 

Bagi Soukotta, Bandung Conference sebagai bagian dari proses dekolonisasi yang sedang berlangsung (ongoing decolonization) bukanlah momen decoloniality, melainkan sebuah momen yang melampaui logika “kekuasaan” (power over), kekerasan genosida dan penyembunyiannya. Pada kenyataannya, logika kekuasaan tersebut tidak pernah terlampaui tetapi malah direproduksi dan diperluas melalui kasus Papua Barat. Setelah kudeta 1965, Belanda, Amerika Serikat, dan PBB menyerahkan Papua Barat kepada Indonesia. Meski itu dianggap sebagai keputusan referendum, logika terselubung di belakangnya adalah anggapan bahawa suku bangsa Papua tidak punya kapasitas mengelola dirinya sendiri sebagai sebuah negara bangsa modern. Dalam banyak laporan, banyak pemilih mengaku bahwa pilihan untuk bersatu dengan Indonesia mereka tujukan di hadapan moncong senjata. Selain itu, intervensi politik-neoliberal nyata dengan hadirnya Freeport McMoran di tanah Papua sampai dengan hari ini. Pola dan logika yang sama bisa terbaca dalam kasus Republik Maluku Utara hingga Timor Timur. Dan yang tak pernah bisa dilupakan dalam sejarah bangsa adalah genosida sepanjang 1965-1966. Seluruh matriks kekuasaan kolonial berlangsung di sana.

Berdarah Maluku, Soukotta juga mengalami bagaimana rasisme berlangsung di Indonesia. Orang-orang dari wilayah timur Indonesia yang berkulit lebih gelap kerap diperlakukan sebagai ras kelas dua oleh orang-orang Jawa. Dalam beberapa kasus demonstrasi, anak-anak Papua yang menuntut penyelesaian soal-soal sosial politik di Papua kerap diejek sebagai monyet, diperlakukan seolah-olah mereka tak berhak menuntut hak mereka. Soukotta menilai bahwa Jawasentrisme di Indonesia mengalienasi yang bukan Jawa, berlangsung tak hanya sebagai tindakan politik tetapi beroperasi di wilayah epistemik, sebagaimana modus-modus kolonial bekerja. 

Rosalba Icaza tak bisa mengecilkan ‘Spirit Bandung’ yang ditunjuk oleh Mignolo. Meski begitu, ia sependapat bahwa Bandung sebagai gagasan tidaklah cukup. Bandung harus juga dilihat sebagai ruang pascakolonial yang tersusun dari banyak suara, narasi, sejarah, dan nilai-nilai lokal. Pada titik ini, Soukotta melihat bahwa Bandung sebagai gagasan dekolonial absen dalam pelajaran-pelajaran sekolah dan bahkan diskursus sosial politik di Indonesia. Yang kuat hadir dalam Konferensi Asia Afrika adalah Indonesia sebagai negara-bangsa modern dengan segala problem unifikasinya. Konferensi Asia Afrika adalah panggung untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menafikan keragaman suara, narasi, serta sejarah-sejarah pinggiran. 

Icaza mengajukan pertanyaan kritis, “but, whose ground was shattered by the ‘Spirit of Bandung,’ by the flower that was planted and instantly killed?”

Bagi Icaza, Bandung juga bisa menunjukkan batas-batas fokus, syarat, dan isi pembicaraan dengan kekuasaan. Bandung sebagai tempat konferensi internasional mempunyai target audiens: kelompok elit di negara-negara peserta konferensi dan kelompok elit lainnya di negara-negara Barat. Audiens Bandung adalah kekuasaan. Perlu diingat bahwa ketika kita berbicara dengan kekuasaan, terkadang yang kita gunakan adalah bahasa yang sama dan mungkin akhirnya mereproduksi logika yang sama dengan kekuasaan. Tentu saja Bandung tetap menjadi landasan bagi orang-orang kulit berwarna, bahkan mayoritas penduduk dunia, untuk berbicara kepada pihak yang berkuasa. Sayangnya, kekuasaan tak mendengarkan. Bahkan balik melawan. Jika demikian, otonomi jadi cakrawala. 

Pelajaran yang diambil oleh Icaza dari Bandung adalah spiritnya menjadi contoh untuk tidak naif ketika harus berbicara kepada kekuasaan dengan cara mengupayakan otonomi sebagai sebuah siasat delinking. Ketika kekuasaan tidak mendengarkan, yang butuh dilakukan adalah berbicara satu sama lain: membangun solidaritas dengan orang-orang disekitar, membentuk komunitas dengan visi dan spirit yang sama serta mulai mengorganisasi diri, membangun sejarah dan narasi sendiri. 

Di akhir percakapan, Soukotta mengajukan sebuah pertanyaan retorik, “so, if Bandung is about delinking what about self-reflexivity?”

***

Seluruh kerangka proyek Pseudo-Entertainment menempatkan Bandung sebagai ruang (space) dan gagasan (idea). Sebagai ruang, Bandung adalah medan pascakolonial yang dinamis. Ia adalah juga lanskap-lanskap ingatan (memoryscapes) yang menyimpan luka-luka sejarah (wounded space). Sebagai gagasan, ia mewarisi marwah dan legasi Konferensi Asia Afrika, sebuah gestur dekolonial ketika negara-negara pascakolonial berupaya menentukan pilihan politiknya sendiri (delinking), yang kelak dibaca sebagai upaya memutus epistemologi kolonial-modern-kapitalistik. Hari-hari ini, menempatkan Bandung sebagai upaya merefleksikan diri sendiri (self-reflexivity) rasa-rasanya adalah juga sebuah pilihan politis. 

Pseudo-Entertainment #1 – Apa yang Tersisa dari Masa Depan dirancang sebagai lingkungan penelitian artistik yang menjelajahi hubungan antara tubuh, ruang, dan ketegangan sosial. Lingkungan yang dimaksud adalah ruang pembelajaran timbal balik antar partisipan, partisipan dengan warga dan seluruh ekosistem, termasuk di dalamnya entitas biologis dan non biologis yang membentuk hidup bersama. Dengan demikian, proses ini berakar pada spirit dan perspektif kolektif. 

Selama residensi satu bulan, para partisipan terpilih akan bertemu dengan  komunitas-komunitas lokal serta ruang-ruang di Bandung. Menimbang keragaman partisipan, penelitian ini sejak awal menyadari potensi lintas batas (interdisiplin, interlokal, interkultural, dll) yang membuka lebar kemungkinan kolaborasi artistik dan refleksi bersama tentang perubahan ruang juga relasi sosial serta menciptakan narasi yang inklusif. Hal ini diupayakan untuk mendorong kesepahaman, solidaritas, dan saling berbagi dalam semangat kolektif. 

Para partisipan penelitian akan berhadapan dengan Bandung hari ini sebagai sebuah situs urban yang secara dominan bergerak dengan logika pembangunan-kapitalistik. Ia membentangkan komodifikasi dan spektakularisasi, gairah untuk terus selalu menghasilkan dan menghabiskan, hasrat untuk selalu menjadi prestisius dan menguasai di satu sisi, dan menyisakan dampak sosial seperti perampasan lahan, kemiskinan struktural, buruh, turisme eksploitatif, ekologi, politik identitas, dll., di sisi yang lain. Isu agraria, termasuk di dalamnya perampasan lahan atas nama pembangunan yang berkelindan dengan perusakan ekologi adalah salah satu yang paling marak di Indonesia hari-hari ini.

Interaksi para partisipan akan berlangsung di antara spektrum Bandung yang kompleks itu: ruang-ruang pinggiran yang penuh tegangan dan (potensi) konflik, komunitas warga yang mengupayakan otonomi, situs-situs wisata dan hiburan yang merekam jejak-jejak kapitalisme, kompleks industri yang bergerak seperti mesin, klaster-klaster yang dijaga dengan dogma-dogma religiositas tertentu, dan kemungkinan ruang-ruang lain dengan kompleksitasnya masing-masing. Cita-cita merancang lingkungan penelitian artistik ini mengidealkan partisipan tidak hanya terbatas menjadi peserta atau aktor dalam proses kreatif, tetapi diundang untuk berdialog dengan ruang, berinteraksi dengan ketegangan sosial, dan memanfaatkan seluruh proses untuk merefleksikan dan mengintervensi bahkan meretas kondisi sosial-politik di konteks masing-masing. 

Dalam pengalamannya, Icaza mengembangkan sebuah model penelitian auto-etnografi kontekstual yang secara sederhana bisa dijelaskan sebagai praksis penelitian kerja sama (collaborative research) yang teks tertulisnya merupakan dialog dengan kata-kata lisan dan tulisan, dengan visualitas, dengan pengalaman masa lalu dan masa kini, dengan emosi dan perasaan, dengan cakrawala otonomi yang dibayangkan bersama. Cara kerja seperti ini disepakati sebagai jalan dan alur refleksi satu sama lain. Dengan pendekatan ini, ia bersama dengan komunitas-komunitas yang berupaya otonom menulis ulang cerita dan sejarah mereka, narasi-narasi lintas lokal yang hilang akibat proses pemisahan (partition) maupun penyatuan (unification) negara-negara bangsa di Amerika Latin. Menulis ulang sejarah dan cerita adalah bagian dari membangun kembali identitas yang pernah terpecah dan terarah pada otonomi kolektif.

Dalam konteks lingkungan penelitian ini, pendekatan auto-etnografi amat mungkin dilakukan juga karena ia menuntut adanya usaha mendengarkan dengan penuh empati (radical listening) melihat dan memperlakukan teman bincang secara setara, memutus biner dan jarak antara Aku dan Yang Lain. Pada tahap yang paling radikal, proses mendengarkan tak butuh lagi kata-kata sebagai alat berkomunikasi, melainkan pengalaman ketubuhan (embodiment) dan kemampuan untuk berbagi rasa-merasa (sensing).  Pada titik ini narasi-narasi besar, teori-teori, pengetahuan-pengetahuan, bahkan motif dan tujuan bercakap bisa ditanggalkan dahulu, sembari membiarkan diri terbuka untuk belajar (unlearning) dari hal-hal yang dicerap.

Dalam proses yang berkesinambungan, cara pandang reparatif (reparative thinking) yang berorientasi pada pertumbuhan bersama antara subjek-subjek yang berinteraksi penting sekali dipakai sebagai rambu-rambu untuk menilai dan mengevaluasi pengalaman-pengalaman.

Cara pandang ini juga penting digunakan untuk menjembatani tegangan-tegangan personal (ketubuhan, afeksi, pemikiran) yang dialami peneliti ketika menegosiasikan dirinya dengan realitas sosial maupun ketika berhadapan dengan situasi konflik atau yang berpotensi demikian. 

Lingkungan penelitian artistik ini juga mendorong kesadaran bahwa keseluruhan pengalaman serta proses cara menemukan, bertemu, dan terlibat dengan masyarakat sebagai bagian tak terpisahkan dari laku aktualisasi potensi-potensi kreatif, proses artistik, dan agenda estetik. Metodologi penciptaan bersama (collective creation) digunakan untuk menjembatani dan mengoptimalkan keragaman potensi yang ada. Proses kreatif dibayangkan berlangsung secara siklis melalui reaktualisasi terus-menerus yang memungkinkan proses kreatif bertransformasi seiring temuan baru, interaksi-interaksi artistik yang berkesinambungan, dan dialog dengan dinamika konteks yang terus berubah-ubah. 

Ini hanyalah ideal-ideal. Berhadapan dengan yang ideal, mari kita panjatkan sebuah doa: Oh my body, make of me always a man who questions!

3

“If this is not ethics, then that word would have lost all meaning.” 

(Enrique Dussel on Chapter 25, Capital)

 

Namun, apa yang sejatinya sungguh-sungguh tersisa dari masa depan?

Enrique Dussel, seorang filsuf dan teolog katolik Amerika Latin membahas konsep ‘eskatologi’ yang berorientasi mengembalikan suara dan perspektif dari masyarakat yang terpinggirkan serta menciptakan dunia yang lebih adil dan setara. Eskatologi yang kerap jatuh pada semata-mata tendensi spiritual belaka diretas oleh Dussel dengan memadukan optimisme dan realisme kritis. Bagi Dussel, eskatologi adalah cita-cita keselamatan dan pembebasan di masa depan yang sudah sedang diupayakan hari ini. Cita-cita itu belum terpenuhi tetapi proyeknya telah dan sedang berlangsung. Ia bukan janji ilahi belaka, juga bukan imajinasi utopis. Cita-cita  itu harus dimulai oleh dan dalam masyarakat yang sedang berjuang. Perjuangan itu harus dilakukan secara bersama-sama, dimulai dengan membangun dialog serta solidaritas lintas batas, hari ini. 

Eskatologi ini berangkat dari kritiknya yang radikal atas matriks kekuasaan kolonial Eurosentrisme termasuk di dalamnya tegangan antara modernisme dan postmodernisme yang sama-sama tidak menimbang sejarah dan suara-suara kaum marginal dari belahan dunia di luar Barat. Dussel menawarkan gagasan transmodernisme yang menuntut pengakuan atas sejarah-sejarah, epistemologi, serta nilai dari wilayah-wilayah yang kerap dianggap pinggiran (periphery) sebagai sumber dan kontributor atas cara pandang (knowing) dan rasa-merasa (sensing) universal. Bagi Dussel, ketimpangan sosial yang bersumber dari kolonialisme yang terus berlangsung dalam sistem modern-kapitalistik adalah kenyataan semua manusia meski persoalannya berlangsung dalam keragaman konteks dan situasi sosial, politik, ekonomi, budaya, gender, dan religiositas.

Dussel berpendapat, perjuangan untuk menciptakan dunia yang lebih adil dan setara di masa depan harus pertama-tama berpihak pada yang paling miskin (option for the poor) dan menderita (option for the suffering). Dussel merujuk kritik Marx terhadap kapitalisme yang merampas hak atas nilai lebih dan keuntungan produksi dari para buruh (living labour), menempatkan buruh pada situasi teralienasi dan subordinat. Analisis atas nilai lebih menunjukkan bahwa surplus yang terus-menerus beroperasi pada sistem kapital tak semata-mata berbasis pada tanah, sewa, dan properti, tetapi pada eksploitasi atas buruh. Meski begitu bagi Dussel, kritik ini harus dilihat dengan lebih lebar ke dimensi lain yang tidak disinggung Marx. Dalam konteks Amerika Latin, perempuan, queer, masyarakat adat, disabilitas akut, dan kaum-kaum yang tersisihkan adalah juga bagian dari operasi opresi yang dilangsungkan oleh matriks kekuasaan kolonial. Dari situasi yang miskin dan menderita inilah seluruh diskursus filsafat dan etika pembebasan universal (harus) berjangkar dan berangkat. 

Dussel mendorong cara pandang analectic atau ana-dialektik, sebuah dialektika yang di dalamnya juga menempatkan kaum-kaum tersisihkan sebagai alih waris yang sah sejarah dan masa depan dunia. Bagi Dussel, setiap entitas di dunia ini berada dalam potensi di dalam dirinya sendiri yang bisa diaktualisasikan dalam horison yang tak terbatas. Dalam konteks pembebasan, Dussel mendorong partisipasi semua warga dunia untuk turut ambil bagian dalam ide transformasi sosial.

Dunia yang akan bertransformasi di masa depan bukanlah sebuah dunia tunggal dan yang dibayangkan oleh gagasan totalitas dan ontologi modern, melainkan sebuah dunia yang luas, beragam, serta mengakui keberadaan yang lain. Potensi-potensi kreatif hari ini butuh diarahkan pada transformasi sosial untuk menciptakan dunia yang adil dan radikal-inklusif. 

Terlepas bahwa di dalamnya kita banyak bertemu dengan kisah-kisah tragis orang-orang kalah dan patah hati, kita bisa melihat bagaimana Orang-orang Oetimu penuh dengan spirit dan cita-cita perlawanan, sebagaimana kisah Am Siki beresonansi menjadi spirit perjuangan dari kampung ke kampung, pulau ke pulau. Secara sekilas, kita bisa melihat upaya Felix menciptakan Oetimu sebagai speculative intervention, dunia imajiner yang mengintervensi sejarah dan situasi sosial politik hari ini untuk membuka cakrawala diskursus mengenai masa depan. Dalam Oetimu, luka, kekerasan, penderitaan dalam sejarah dan hari ini, serta imajinasi tentang masa depan rasa-rasanya bertindih tepat, dalam ruang dan waktu yang sama. 

Lewat banyak satir dan ironi, kisah ini memantik pertanyaan, mendorong empati, dan membangun kesadaran tentang apa yang bisa dilakukan untuk mengupayakan masa depan yang lebih baik, sekurang-kurangnya baik bagi penulis dan pembaca. Bisa jadi Oetimu menawarkan sebuah eskatologi dengan caranya sendiri, praktik menulis adalah sebuah perlawanan, sebuah perjuangan berhadapan dengan negara, pasar, adat, dan gereja yang penuh kuasa, sekaligus menawarkan diskursus tentang problem-problem dari ekses kekuasaan itu untuk melahirkan cita-cita tentang Timor yang lebih adil dan setara di masa depan, yang bisa diupayakan sejak saat ini. 

Lebih tajam dari itu, Pseudo-Entertainment mengundang semua yang memahami bahwa seni adalah bagian dari proses penciptaan ‘yang sosial’ (the social), melibatkan produksi hubungan, distribusi pengalaman, dan negosiasi makna di tengah komunitas. Seni pertunjukan diyakini bisa menjadi latihan kolektif untuk menciptakan kemungkinan imajinasi politik baru, membangun ketahanan kolektif, dan mengkonfigurasi kembali relasi sosial yang lebih reparatif.

Cita-cita ini menarik jika kita sekali lagi saling pantulkan dengan catatan Felix, “penulis motivasi maupun orang-orang psikologi selalu berkata: berbagi itu menyembuhkan. Saya telah menulis, saya telah berbagi cerita saya dengan Anda sekalian, lewat buku setebal 200 halaman. Namun, melihat negara yang sampai hari ini masih hadir hanya untuk melukai, saya tidak berharap untuk bisa sembuh, bisa memaafkan.”

Pesimisme Felix atas karyanya sendiri seolah kembali memunculkan pertanyaan-pertanyaan klasik: 1) dunia macam apa yang bisa dan harusnya diciptakan oleh seni? 2) Apakah seni benar-benar bisa dan harus membangun sebuah alternatif dunia ideal yang mungkin dirujuk untuk merancang masa depan bersama? 3) Atau lebih tepat jika dunia yang dibangun oleh karya seni justru harus bisa semakin mendudukan manusia pada realitas yang ia hidup dan hadapi setiap hari sehingga ia bisa semakin relevan dengan soal-soal hari ini? 3) Dunia (konteks) macam apa yang menuntut pertanyaan-pertanyaan ini kita ajukan pada kesenian, hari ini?

Barangkali pertanyaan-pertanyaan etis di atas adalah sekaligus pertanyaan estetis. Atau kita bisa menajamkannya sekali lagi dengan meminjam pertanyaan Rosalba Icaza di depan dengan, sedikit penyesuaian, “but, whose ground was shattered by the ‘performing art’, by the flower that was planted and instantly killed?”

 


 

Referensi:

Allen, Amy, dan Mendieta, Eduardo (2024). Decolonizing ethics : the critical theory of Enrique 

      Dussel. Durham: Duke University Press.

Dussel, Enrique D. (1972). Ethics and the theology of liberation. Buenos Aires: Justice and Peace 

       Study Centre.

Dussel, Enrique D. (2003). Beyond philosophy : ethics, history, Marxism, and liberation theology 

       Maryland: Rowman & Littlefield Publishers.

Keightley, Emily.  dan  Pickering, Michael (2013) Research Method for Memory Studies. Edinburgh: 

       Edinburgh University Press.

Mansyur, M. Aan. (ms). Menelusuri Kota dalam Teater, Mengalami Makassar Lain yang Mungkin.

Mignolo, Walter D. (2013). Geopolitics of sensing and knowing: On (de)coloniality, border thinking, 

       and epistemic disobedience. Confero:  Vol. 1 no. 1  p. 129–150.

Mignolo, Walter D. dan  Walsh, Catherine  E. (2018). On decoloniality: concepts, analytics, praxis.  

       Durham: Duke University Press.

Mignolo, Walter D. (2021). The politics of decolonial investigations.   Durham: Duke University 

       Press.

Nesi, Felix K. (2021). Menulis Orang-Orang Oetimu, Menulis Luka, bacapetra.co diakses pada 2 

       Januari 2025.

Nesi, Felix K. (2020). Orang-orang Oetimu. Jakarta: Marjin Kiri.

Phạm, Quỳnh N. dan Shilliam, Robbie. (ed). (2016). Meanings of Bandung : postcolonial orders 

       and decolonial visions. New York : Rowman & Littlefield International.

Sedgwick, Eve Kosofsky. (2003). Touching Feeling: Affect, Pedagogy, Performativity. Durham: Duke 

       University Press

Quijano, Anibal. (2024). Aníbal Quijano: foundational essays on the coloniality of power. Durham: 

       Duke University Press.

Bagikan Postingan

2 Responses

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kalender Postingan

Minggu, Juli 20th