w4

Rumah Arsip dan Kuliner Kampung Wuring

Oleh Theresia Nay

Kampung Wuring, Kelurahan Wolomarang, Kecamatan Alok Barat, sejatinya merupakan salah satu potensi destinasi kesohor di Kabupaten Sikka. Perkampungan tradisional para nelayan yang sebagian besarnya berasal dari Suku Bajo ini memiliki eksotisme sendiri; mereka mendirikan rumah di atas laut, dengan tiang-tiang kayu dan dinding belahan bambu (halar) atau kayu.

Karena itu, ketika mengunjungi perkampungan ini, Anda akan disajikan dengan pemandangan laut yang sangat indah.

Adapun masyarakat kampung Wuring sendiri terkenal dengan keramahannya. Mereka akan menyapa, terutama lewat senyuman, ketika berpapasan dengan pendatang yang memasuki wilayah mereka.

Melihat banyaknya potensi yang bisa diangkat dari Kampung Wuring, pada tahun 2019 lalu Komunitas KAHE melakukan riset penciptaan bersama sebagai salah satu persiapan  pertunjukan teater bertajuk “Yang Terhempas, Yang Terkikis”- pertunjukan ini kemudian diselenggarakan di Monumen Tsunami, Kota Maumere, pada 29 Mei 2019.

Pertunjukan tersebut menggambarkan bagaimana kehidupan masyarakat Kampung Wuring yang sebagian besar penduduknya merupakan kaum nelayan. “Yang Terhempas,Yang Terkikis” sukses menarik perhatian para penonton yang memadati area pertunjukan.

Namun, tidak hanya sampai di situ, pada tahun 2020 ini KAHE pun melibatkan remaja Kampung Wuring untuk berkolaborasi; membuat Galeri (Rumah Arsip) dan dokumentasi kuliner. Setiap kelompok didampingi oleh beberapa anggota Komunitas KAHE.

Adapun Galeri (Rumah Arsip) sendiri bertujuan untuk menyimpan arsip-arsip kebudayaan dan pusat informasi sehingga wisatawan tidak sekadar jalan-jalan untuk melihat Kampung Wuring tetapi juga bisa memperoleh informasi tentang asal-usul dan kebudayaan masyarakatnya.

Selain itu, wisatawan tidak perlu khawatir karena dari Galeri ini mereka bisa langsung membeli ole-ole untuk dibawa pulang. Dul, salah seorang remaja Kampung Wuring, mengungkapkan selama ini banyak orang atau wisatawan yang datang tapi tidak punya tempat tujuan di mana mereka bisa mendapat informasi atau cerita tentang Kampung Wuring.

Sampai saat ini, kelompok galeri yang didampingi Gee, Sesil dan Megs sedang mengumpulkan informasi dari tokoh-tokoh masyarakat, terutama berkaitan dengan sejarah, kebudayaan, cerita rakyat, dan foto-foto yang nantinya akan disimpan di Galeri.

Pada lain hal, tidak banyak yang tahu kalau Wuring sendiri memiliki keanekaragaman jenis makanan dan kue. Banyak orang dari luar Wuring, khususnya Maumere, datang  tidak hanya untuk membeli ikan tetapi juga membeli kue yang dijual oleh ibu-ibu di pasar. Gogos, kasuami, kue janda, buras dan palu mare adalah sebagian dari banyaknya kuliner yang ada di Kampung Wuring.

Melihat ini, kelompok kuliner ingin coba mengangkat dan memperkenalkan kuliner Wuring juga cerita di balik makanan-makanan tersebut kepada masyarakat luas. Kelompok kuliner yang didampingi Tika, Nay, dan Karlin sudah membuat forum kecil bersama ibu-ibu dan transpuan pada Minggu, 19 juli 2020 lalu.

Forum ini bertujuan mengumpulkan ibu-ibu dan transpuan yang bergerak di bidang kuliner dan mencari tahu tentang makanan, cara pembuatan, serta cerita-cerita di balik makanan tersebut yang nantinya akan berlanjut pada masak-masak bersama dan festival kuliner.

Ibu-ibu dan waria yang datang sangat antusias. Mereka dibagi ke dalam 4 kelompok dan diberi pertanyaan seputar kuliner yang dibuat dalam bentuk arisan. Ini memang dilakukan agar suasananya tidak jenuh, ungkap Tika.

Jawaban kemudian ditulis pada paper plan yang kemudian dipresentasikan oleh perwakilan dari masing-masing kelompok. Banyak cerita unik yang ditemukan dari makanan-makanan tersebut, seperti onde-onde tawaro, tape ketan merah, dan palu mare atau kuah asam khas Wuring.

Onde-onde tawaro menjadi sulit dibuat karena bahan utama yang digunakan adalah sagu. Sagu sangat sulit ditemukan di Wuring maupun di Maumere. Untuk memudahkan pembuatannya, mereka mengganti sagu dengan tepung kanji.

Untuk tape ketan merah, salah seorang ibu bernama Hajah Murni menjelaskan bahwa perempuan yang sedang datang bulan (haid) tidak boleh membuatnya karena hasilnya tidak akan sempurna bahkan gagal.

Lalu, palu mare sendiri harus dibuat dengan hati yang senang agar rasanya enak. Palu mare (kuah asam) khas Wuring menjadi makanan yang banyak dipilih.

 

 

 

 

 

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Kalender Postingan

Selasa, April 16th