w3

Peran Ibu di Kampung Wuring

Oleh Inna Atu

Rabu, 19 Februari 2020 lalu, sekitar  pukul 19.42 WITA saya dan ketiga teman saya; Gee, Rendy, dan Rin menyusuri area Kampung Wuring. Seperti biasa, kami memarkirkan kendaraan di depan rumah Amir (24), seorang pemuda Wuring yang sempat terlibat dalam workshop riset dan penciptaan bersama Teater Garasi Yogyakarta, baru kemudian menyusuri perkampung tersebut.

Suasana saat itu cukup ramai;  anak-anak kecil bermain dan berlari di depan rumah sekitaran setapak jalan juga beberapa ibu terlihat asyik berkumpul bersama dan saling bercerita. Sementara bapak-bapak sibuk mengatur perlengkapan untuk melaut. Di antara itu ada juga warga yang tergesa-gesa lewat di setapak jalan menuju Masjid Apung untuk memulai ibadah salat.

Lalu, setelah menyusuri kampung, kami bertemu dengan sosok bernama Paman Roni. Paman Roni merupakan seorang nelayan Kampung Wuring, dan pada tahun 2018 lalu, film dokumenter yang diproduksi oleh tim Maumere TV, yang mana diaPaman Roni menjadi narasumbernya, sukses mengadvokasi pemerintah daerah untuk membangun pemecah ombak di sisi paling utara ujung Kampung Wuring. Pemecah ombak itu menyelamatkan sebagian rumah warga dari terjangan gelombang barat.

Paman lantas mengajak kami untuk duduk bersama sambil bercerita santai di rumah Bibi Tini, saudara dari istrinya. Bibi Tini menerima kami dengan sangat baik; dia sendiri mempunyai 5 orang anak; anaknya yang kelima masih balita dan berumur sekitar 9 bulan.

Sambil bercerita santai Bibi Tini sibuk menggendong anak bayinya dan memantau anak keempatnya yang masih berusia 3 tahun (Azan, namanya) yang sibuk berlarian ke sana kemari dengan teman-teman sebayanya.Jarak usia anak Bibi Tini cukup dekat.

Namun, bukan hanya Bibi Tini. Di Kampung Wuring kebanyakan setiap perempuan yang sudah berkeluarga memiliki minimal 5 orang anak dengan jarak usia yang dekat. Hal ini agak berbanding terbalik dengan ibu-ibu yang berada di Kota Maumere. Setelah saya mencari tahu, alasannya karena ibu-ibu di Wuring tidak mengikuti program KB.

Saya kira, di Kampung Wuring sendiri, tim Kesehatan tampak jarang mensosialisasikan program KB itu. Hal ini ditambah juga dengan faktor lain bahwa warga Suku Bajo meyakini istilah “Banyak Anak, Banyak Rejeki”. Jika banyak anak, maka banyak pemasukan. Namun, anak-anak akan bekerja melaut untuk bisa membantu orangtua.

“Kalau punya banyak anak, jika ada yang meninggal, masih ada yang lain,” ucap Paman Roni spontan.

Kembali ke Bibi Tini. Bibi Tini selain sebagai ibu rumah tangga juga seringkali ikut melaut menemani suaminya. Namun, hampir setahun terakhir ini ia tidak pernah lagi ikut melaut karena harus mengurusi anaknya yang masih bayi.

Istri Paman Roni pun sering ikut melaiut menemani Paman Roni, walaupun sering mabuk laut karena tidak tahan dengan gelombang laut.  Begitupun dengan ibu-ibu lainnya di Kampung Wuring, mereka biasa pergi melaut menemani suaminya.

Ketika ditanya mengapa ikut melaut, mereka menjawab bahwa hal itu sudah menjadi tradisi atawa kebiasaan yang terus-menerus diulang. Hasil laut yang ditangkap biasanya dijual ke papalele atau mamalele ataupun langsung dijual di pasar.

Sangat menarik bagi saya melihat keadaan ini, seorang perempuan (ibu) harus mengesampingkan sejumlah urusan; perihal anak di rumah juga ketakutan tentang bahaya saat pergi melaut.

Tetapi bagi perempuan Suku Bajo di Kampung Wuring, melaut bukanlah hal yang menakutkan; mereka menganggap laut merupakan bagian dari mereka, saudara mereka, juga keberadaan leluhur itu sendiri.

Itulah mengapa ada tradisi suku Bajo ketika kelahiran yang mana ari-ari mereka tidak ditanam di dalam tanah seperti pada umumnya, tetapi malah dibuat di laut. Alasannya,  agar saat melaut saudara mereka ada bersama-sama dengan mereka.

Foto: Rolly Davinsi

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Kalender Postingan

Jumat, Maret 29th